- Pada bab ini, kita perlu menyamakan pemahaman wacana adat karena dalam kehidupan sehari-hari, terjadi begitu banyak salah pengertian dan kerancuan wacana etika. Dalam masyarakat, kadang-kadang orang menggunakan kata adat dalam pengertian yang salah. Selain itu, pada bab ini juga akan dibahas pemahaman tentang moralitas, sebab adat dan moralitas sering dipakai secara tertukar, atau dipakai dalam pemahaman yang berbeda secara rancu.
Namun, kesalahan pemakaian kedua kata ini tidak sepenuhnya salah. Karena, baik budbahasa maupun moralitas memiliki pemahaman yang sama namun juga mampu berbeda. Yang penting, mesti diketahui secara tepat.
Secara teoritis, adat mempunyai pemahaman, sebagai berikut. Pertama, secara etimologis, budbahasa berasal dari kata Yunani ethos (jamaknya: ta etha), yang berarti “etika istiadat’ atau “kebiasaan”. Dalam arti ini, adat berkaitan dengan kebiasaan hidup yang bagus, metode hidup yang bagus, baik pada diri seseorang atau penduduk . Kebiasaan hidup yang baik ini dianut dan diwariskan dari satu generasi ke generasi lain.
Kebiasaan hidup yang baik ini lalu dibakukan dalam entuk kaidah, aturan atau norma yang disebarluaskan, dikenal dipahami, dan diajarkan secara ekspresi dalam masyarakat. Kaidah,norma atau aturan ini pada dasarnya menyangkut baik-buruk sikap manusia. Singkatnya, kaidah ini memilih apa yang bagus harus dilakukan dan apa yang buruk mesti dikesampingkan. Oleh alasannya itu, adab sering dimengerti sebagai ajaran yang terdiri dari aturan tentang bagaimana manusia harus hidup baik secara manusia. Atau, etika dimengerti sebagai fatwa yang berisikan perintah dan larangan tentang baik buruhnya sikap manusia, ialah perintah yang harus dipatuhi dan larangan yang harus disingkirkan.
Kaidah, norma atau aturan ini bekerjsama ingin mengungkapkan, mempertahankan, dan melestarikan nilai tertentu, ialah apa yang dianggap baik dan penting oleh masyarakat tersebut untuk diburudalam hidup ini. Dengan demikian, etika juga terdiri dari nilai-nilai dan prinsip-prinsip budbahasa yang mesti dijadikan pegagangan dan menuntun sikap. Sekaligus juga mempunyai arti, akhlak memberi kriteria bagi evaluasi sopan santun perihal apa yang mesti dijalankan dan perihal apakah suatu langkah-langkah dan keputusan dinilai sebagai baik atau jelek secara tabiat. Kriteria ini yang dianggap selaku nilai dan prinsip sopan santun.
Dari pemahaman tersebut, budbahasa secara lebih luas dipahami sebagai pemikiran bagaimana manusia mesti hidup, dan bertindak selaku orang yang bagus. Etika memberi isyarat , orientasi, arah bagaimana harus hidup secara baik sebagaimana manusia.
Yang menjadi pusat perhatian di sini adalah hidup baik sebagai manusia. Si A dinilai sebagai orang baik dalam kualitasnya sebagai manusia. Seorang guru mampu dinilai selaku guru yang bagus dalam hal ia mengajar dengan sungguh menawan, merencanakan diri sebelum menajar, dan sebagainya. Akan namun, ia bukan orang yang bagus, kalau beliau memberi nilai secara diskriminatif dan tidka obyektif, memperjualbelikan nilai, dan seterusnya. Yang terakhir itu yaitu penilaian susila.
Kata mempesona, dalam pemahaman tersebut bisa memiliki arti etika dan moralitas. Secara etimologis, moralitas berasal dari kata Latin mos (jamaknya: mores) yang juga berarti “budpekerti-istiadat” atau “kebiasaan”. Kaprikornus, dalam pemahaman harfiah, etika dan moralitas sama-sama mempunyai arti budbahasa kebiasaan yang dibakukan dalam bentuk aturan (baik perintah atau larangan) tentang bagaimana manusia harus hidup baik selaku manusia. Dalam arti itu, keduanya mengatakan wacana nilai dan prinsip susila yang dianut oleh masyarakat tertentu selaku fatwa dan patokan dalam bertingkah sebagai insan.
Pada umumnya, metode nilai, yang sudah dihidupi selaku suatu kebiasaan hidup yang baik, diturunkan dan diwariskan melalui agama dan kebudayaan, yang dianggap selaku sumber utama norma dan nilai budbahasa. Ini tidak bermakna bahwa norma dan nilai adab yang dikenal dan diajarkan dalam satu agama dan kebudayaan dengan sendirinya berlainan dari norma dan nilai yang diketahui dan diajaran dalam agama dan kebudayaan lain. Tanpa ingin memasuki diskusi yang rumit perihal hal ini, secara umum mampu dikatakan bahwa norma dan nilai moral yang dianut dalam semua agama dan kebudayaan hingga tingkat tertentu sebenarnya sama. Alasan sederhananya, alasannya adalah akhlak dan moralitas berbicara ihwal baik-buruk sikap manusia sebagia insan terlepas dari agama dan kebudayaan. Ang berbeda bahwasanya hanya menyangkut prioritas atau pementingan yang berlawanan diantara berbagai agama dan kebudayaan (yang satu menekankan dan mengutamakan cinta kasih, lainnya menekankan dan mengutamakan sikap saling percaya atau kejujuran, dan sebagainya). Selain itu, dalam penerapan dari nilai susila yang sama. Dalam perkara euthanasia, contohnya, yang satu membenarkan dokter mencabut alat-alat bantu supaya saudaranya yang berada dalam keadaan koma mampu meninggal dengan damai. Sementara lainnya, tetap berusama menunjukkan segala bantuan medis untuk menjaga hidup saudaranya itu, hingga Tuhan sendii yang mencabut nyawanya. Di balik langkah-langkah yang berbeda ini ada nilai moral yang sama : sama-sama mencintai saudaranya tersebut. Pada yang satu, alasannya adalah sungguh mencintainya, tidak tega membiarkan beliau menderita sehingga menawarkan dia pergi menghadap Sang Pencipta. Pada lainnya, justru karena cintanya terhadap saudaranya itu maka berjuang untuk mempertahankan hidupnya dan tidak membiarkan pergi.
Kedua, akhlak dipahami dalam pemahaman yang berlawanan dengan moralitas sehingga mempunyai pemahaman yang jauh lebih luas. Dalam pengertian ini, adab diketahui selaku refleksi kritis perihal bagaimana manusia mesti hidup dan bertindak dalam suasana nyata, situasi khusus tertentu. Etika adalah filsafat budbahasa, atau ilmu yang membahas dan mengkaji secara kritis duduk perkara benar dan salah secara susila, ihwal bagaimana harus bertindak dalam suasana kontret.
Bagaimana manusia mesti hidup baik selaku manusia? Bagaimana insan mesti bertindak? Terhadap pertanyaan ini, etika dan moralitas dalam pengertian pertamakan menjawab bertindaklah sebagaimana kebiasaan, norma, dan nilai yang dikenal sejauh ini. Dengan kata lain, ada pegangan baku dalam bentuk norma dan nilai tertentu yang siap pakai. Misalnya, akad mesti ditepati, jangan mendustai, katakan yang sejujurnya, bantulah orang yang berada dalam kondisi kesusahan, dan sebagainya. Tetapi, dalam situasi konkret sehari-hari, tanggapan dari adat dan moralitas dalam pengertian pertaa belum tentu mencukupi dan menolong. Sering kali, situasi aktual yang dihadapi ialah situasi dilematis, situasi di mana kita dihadapkan pada dua atau lebih pilihan nilai yang serupa-sama sahnya, dan kita hanya mampu menentukan salah satu dan mempunyai arti melanggar yang lain. Dalam suasana demikian, etika dan moralitas dalam pemahaman pertama tidak mencukupi.
Oleh alasannya adalah itu, kita membutuhkan etika dalam pengertian keua, berbentukrefleksi kritis untuk memilih opsi, memilih perilaku, dan bertindak secara benar sebagai manusia. Refleksi kritis ini menyangkut tiga hal. Pertama, refleksi kritis tentang norma dan nilai yang diberikan olehh akhlak dan moralitas dalam pemahaman pertama, tentang norma dan nilai yang kita anut selama ini. Apakah norma dan nilai sopan santun itu harus aku patuhi begitu saja dalam suasana positif yang serupa hadapi? Ataukah, aku boleh melanggarnya? Atas dasar apa aku boleh melanggarnya, namun kendati demikian aku tetap bertindak selaku orang yang bagus? Kedua, refleksi kritis tentang situasi khusus yang kita hadapi dengan segala keunikan dan kompleksitasnya. Ketiga, refleksi kritis tentang berbagai paham yang dianut oleh manusia atau kalangan masyarakat wacana apa saja. Misalnya, paham perihal insan, Tuhan, alam, penduduk dan tata cara sosial-politik, tata cara ekonomi, kerja, dan sebagainya. Refleksi kritis yang ketiga ini penting untuk memilih opsi dan prioritas sopan santun yang hendak diutamakan, baik dalam hidup sehari-hari maupun dalam suasana dilematis
Ketiga hal ini harus dikaji dan dipertimbangkan secara kritis untuk sampai kepada suatu keputusan: mana di antara norma dan nilai yang saling bertentangan itu yang mesti pilih. Berdasarkan refleksi kritis itu, kita harus yakin bahwa apa yang kita putuskan, apa yang kita kerjakan dalam situasi khusus itu benar, dan menurut keyakinan sopan santun kita siapa saja yang berebda dalam suasana yang serupa akan melaksanakan hal yang sama seperti yang kita kerjakan.
Pada tingkat ini, budpekerti membutuhkan penilaian kritis atas semua dan seluruh terkati-tergantung dari berat ringan dan kompleks tidaknya, perkara itu. Ada perkara yang ringan dan kompleks tiddaknya, masalah itu. Ada masalah yang membutuhkan keputusan tabiat secepatnya, tetapi ada juga yang membutuhkan waktu usang sebelum mengambil keputusan. Hal ini alasannya adalah diperlukan gosip sebanyak mungkin yang menyangkut perkara tesebut, baik perkara nyata itu sendiri, dampaknya, siapa yang terkena dampaknya, apa yang terkena, kerugian yang ditimbulkan, pro dan kontra, dan sebagainya. Untuk itu, budbahasa memerlukan sumbangan dari banyak sekali disiplin ilmu untuk mampu sampai pada keputusan watak yang benar. Oleh sebab itu, akhlak juga dianggap selaku sebuah ilmu interdisipliner. Sebagai ilmu interdisipliner, di satu pihak dia bertumpi pada norma dan nilai sebagaimana diberikan oleh adat dan moralitas dalam pemahaman pertama. Di pihak lain, ia mengandalkan informasi dan kajian dari ilmu-ilmu lain untuk bisa mengambil keputusan budbahasa yang tepat, baik sebelum melaksanakan sebuah langkah-langkah maupun dalam memeriksa suatu langkah-langkah atau kebijakan yang diambil.
Sebagai contoh, lihat perkara imajiner ini: Pada sebuah sore, seorang pemuda lari terbirit-birit masuk ke rumah Anda dalam keadaan panik dan sungguh terancam. Ia meminta pinjaman di rumah Anda, dan memohon biar beliau diizinkan bersembunyi di rumah Anda. Sekadar untuk mempersempit masalah, sebagai orang baik Anda langsung menolongnya dengan mengizinkan bersembunyi di rumah Anda. Selang beberapa menit lalu, tiba orang lain yang bertama kepada Anda apaah ada orang yang lari masuk bersembunyi di rumah Anda. Pertanyaan susila yang harus dijawab di sini ialah: Apa yang harus Anda kerjakan? Mengataan sejujurnya bahwa orang yang dicari itu ada di rumah Anda, atau berbohong? Disini ada nilai kejujuran, keyakinan (Anda dipercaya untuk menyelamatkan nyawa orang yang bersembunyi di rumah Anda), janji harus ditepati (Anda berjanji untuk melindunginya) dan ada nilai nyawa orang tadi (seandainya diserahkan begitu saja, sebab mau jujur, orang itu bisa dipukul babak belur dan mungkin mati). Kalau begitu, apa yang mesti Anda lakaukan?
Dalam kasus ini, adat dan moralitas dalam pengertian pertaa tidak memadai, alasannya adalah ada situasi dilematis ketika Anda mesti menentukan nilai tertentu dengan melanggar nilai yang lain. Dalam suasana mirip itu, Anda memerlukan budbahasa dalam pengertian kedua. Anda perlu melaksanakan refleksi kritis untuk menetapkan tindakan yang tepat menurut pertimbangan matang Anda. Dalam hal ini, kita mesti menetapkan secara otonom, dalam pengertian bahwa dalam perkara tertentu kita bisa meminta masukan dan pendapatdari orang lain (jikalau suasana memungkinkan). Pada akhirnya, cuma kita sendiri yang haruss menetapkan berdasarkan dogma tabiat kita (yang memiliki arti menurut norma, nilai, dan kebiasaan hidup yang dianut).
Tidak mempunyai arti kita lalu menetapkan sesuka hati. Sebagaimana dikatakan Immanuel Kant, kita memutuskan secara otonom dalam rangka dan berdasarkan sikap hormat pada nilai-nilai dan aturan universal yang bertanam dalam hati kita masing-masing. Oleh karena itu, kendati menetapkan secara otonom, kita harus terbuka terhadap usulandan gugatan pihak lain. Kita terbuka bahwa orang lain mampu saja mempersoalan dan mengecam tindaan yang kita kerjakan. Kita pun terbuka untuk mempertanggungjawabkan langkah-langkah kita sekaligus menggantinya (jika mampu diubah) bila ternyata keliru.
Dengan kedua perbedaan ini, budpekerti lingkungan hidup yang dipaparkan dalam buku ini yaitu adab dalam pengertian kedua, suatu refleksi kritis wacana norma dan nilai atau prinsip sopan santun yang diketahui biasa selama ini dalam kaitan dengan lingkungan dan refleksi kritis perihal cara pandan insan wacana manuia, alam dan hubunan antara manusia dan alam serta perilaku yang bersumber dari cara pandang ini. Dari refleksi kritis ini kemudian disodorkan cara pandang dan sikap gres yang dianggap lebih tepat terutama dalam kerangka menyelamatkan krisis lingkungan.
Sumber: Sonny Keraf A. (2002). Etika lingkungan. Jakarta: Penerbit Buku Kompas. (Hal 1-8)