- Psikologi forensik dirasa mulai penting sekitar tahun 1970. Psikologi forensik ialah interface dari Psikologi dan Hukum, dan merupakan aplikasi pengetahuan psikologi, terutama psikologi klinis, pada persoalan – duduk perkara yang dihadapai jaksa, polisi, dan lain – lain untuk menuntaskan masalah yang bekerjasama dengan keadilan sipil, kriminal, dan administratif (civil, criminal, administrative justice).
Awal psikologi forensik adalah ketika terdapat perbedaan usulan antara Munsterberg dan Wigmore pada tahun 1908, tentang peran psikolog dalam proses pengadilan. Menurut Munsterberg yang paling anti atas peran psikologi yakni para jaksa. Hal ini ditanggapi oleh Wigmore – seorang ahli hukum – sedemikian rupa sehingga Munsterberg balasannya diadili. Baru pada tahun 1954, Bazelon – seorang hakim – mengakui bahwa psikolog yang memiliki kualifikasi tertentu mampu menjadi saksi hebat di pengadilan adalah sebagai mahir gangguan jiwa. Selanjutnya, berkat tulisan dari Loh (dalam Phares, 1992) psikolog yang pada sekitar tahun 1950 cuma dapat menjadi saksi andal, juga mampu bertindak sebagai konsultan bagi para juri dalam metode pengadilan di Amerika Serikat.
Peran Psikologi Klinis dalam Sistem Legal
Cukup banyak yang mampu dilaksanakan oleh andal psikologi klinis, antara lain: Law enforcement, psychology of litigation, layanan dipenjara dan aplikasi psikologi forensik. Dalam hal law enforcement, psikologi klinis mampu melakukan penelitian untuk mengukur dan meningkatkan kesadaran hukum dampak penduduk . Psychology of litigation membahas imbas mekanisme legal pada terdakwa, juri, dan sebagainya. Psikologi klinis mampu memberi pesan yang tersirat terhadap mereka yang menerima efek jelek untuk lalu meninjau perbaikan mekanisme legal. Layanan dipenjara sudah banyak dikenali oleh psikolog di Indonesia. Para petugas penjara kadang kala meminta jasa psikologi untuk membantu mereka menunjukkan layanan terbaik bagi para tahanan, namun tampaknya tidak banyak psikologi yang terpesona untuk menjalankan tugas – tugas di penjara (Nietzel, 1998).
Kegiatan Psikolog dalam Bidang Psikolog Forensik
Bidang yang dinamakan psikologi forensik meliputi peran psikolog dalam menentukan beberapa hal penting, adalah (Phares, 1992):
- Psikolog dapat menjadi saksi jago. Ada perbedaan antara saksi mahir dan saksi biasa. Seorang saksi ahli harus mempunyai kualifikasi dalam hal ini, clinical expertise, mencakup pendidikan, publikasi, lisensi, pengalaman, kedudukan, observasi, publikasi, wawasan, aplikasi prinsip – prinsip ilmiah, serta penggunaan alat tes khusus.
- Psikologi dapat menjadi penilai dalam masalah – kasus kriminal, contohnya menentukan waras/tidaknya (sane/insane) pelaku kriminal, bukan dalam arti psikologis, namun dalam arti legal/aturan.
- Psikolog mampu menjadi penilai bagi kasus – kasus madani/sivil. Termasuk di dalamnya menentukan patut/tidaknya seseorang masuk rumah sakit jiwa, kekerasan dalam keluarga, dan lain – lain. Di indonesia telah ada Lembaga Swadaya Masyarakat yang menangani duduk perkara – problem kekerasan dalam keluarga, misalnya Pusat Krisis Terpadu (PKT) di RSCM, LBH – APIK, dan lain – lain.
- Psikolog mampu juga memperjuangkan hak untuk memberi/menolak pengobatan bagi seseorang.
- Psikologi diperlukan mampu memprediksi ancaman yang mungkin berhubungan dengan seseorang. Misalnya, dampak baik/buruk mempersenjatai seseorang. Psikolog diharapkan tahu wacana motivasi, kebiasaan, dan daya kendali seseorang.
- Psikolog diharapkan dapat menawarkan treatment sesuai dengan keperluan.
- Psikolog diharapkan dapat melakukan fungsi selaku konsultan dan melakukan penelitian di bidang psikologi forensik.
Nietzel dkk. (1998) menyimpulkan bahwa ada lima pokok bahasan psikologi forensik, yakni:
- Kompetensi untuk mengerjakan proses pengadilan serta tanggung jawab kriminal.
- Kerusakan psikologis yang mungkin terjadi dalam pengadilan sipil.
- Kompetensi sipil.
- Otopsi psikologis dan criminal profiling.
- Hak bimbing anak dan kelayakan orang bau tanah (parental fitness).
Yang dimaksud dengan otopsi psikologis adalah kegiatan psikolog yang melaksanakan asesmen terhadap seseorang yang telah meninggal. Asesmen ini diminta oleh pengadilan untuk mengetahui keadaan psikis orang itu sebelum meninggal. Selanjutnya dapat diketahui penyebab ajal – bunuh diri, kecelakaan, dan lain – lain. Ini dikerjakan untuk memilih wajib/tidaknya sebuah perusahaan memberi kompensasi terhadap keluarga korban.
Criminal profiling mempunyai persamaan dengan otopsi psikologis. Keduanya sama – sama menentukan keadaan psikis atas data yang ditinggalkan seseorang. Pertanyaan dalam criminal profiling ialah siapa yang melakukan – pelaku belum diketahui. Perbuatan kriminal sering kali meninggalkan jejak. Criminal profiling bermaksud mencari pelaku dan penyababnya menurut tanda – tanda yang ditinggalkan (Nietzel dkk., 1998).
Sumber: Pengantar Psikologi Klinis. Suprapti Slamet I.S. – Sumarmo Markam (Hal 182 – 186)