Sudah banyak cerita pedagang kaki lima yang kemudian menjadi pengusaha sukses. Salah satunya adalah Muhammad Adi, pemilik CV Intascus Sport, produsen tas yang cukup besar.
Bisa dibilang, Adi merintis usahanya ini benar-benar dari bawah. Pria tamatan sebuah SMA di Surabaya ini sudah kenyang makan asam garam sebagai pekerja rendahan.
Mulanya, selulus SMA pada 1981, Adi mencoba mengadu nasib merantau ke Sulawesi dengan menjadi buruh di sebuah toko agen barang pecah belah. Adi terpaksa merantau karena harus membantu membiayai sekolah adik-adiknya.
Namun, ia tidak lama bekerja di toko itu. Adi pun kemudian meloncat ke Kalimantan untuk bekerja sebagai buruh kasar di PT Newmont. Namun, lagi-lagi, Adi tak betah dan memutuskan pulang ke Surabaya.
Ternyata pulang ke rumah malah membuatnya gelisah, apalagi kalau melihat adik-adiknya yang membutuhkan bantuannya. Karena itu, pada 1982, Adi nekat ke Jakarta. Di Jakarta ini, Adi tinggal di kawasan Senayan berkat kebaikan sesama perantau asal Jawa Timur dan Jawa Tengah.
Untuk menyambung hidup, Adi bekerja serabutan. Pagi hingga siang hari ia menjadi penjual tas keliling dari kantor ke kantor. Malam harinya Adi menjadi juru parkir di Senayan.
Meski penghasilannya kecil, dengan sekuat tenaga Adi berusaha menyisihkan penghasilannya untuk modal berbisnis. Modal pertamanya hanya Rp 50.000.
Dengan uang segitu, Adi kulakan tas di Pasar Pagi untuk dijual kembali. Beruntung, dagangannya selalu habis terjual. Hasil jualan selalu putar lagi.
Sayang, jiwa muda Adi yang masih bergelora membuatnya tergoda untuk berfoya-foya. Namun, setelah menikah pada 1985, Adi mulai berpikir serius menjadi pengusaha tas sendiri. Ketika itu, modalnya pun pas-pasan. Sampai terpaksa menjual perhiasan istri untuk modal awal. Lagi-lagi dengan uang Rp 50.000 Adi memulai usahanya.
Lantaran tak punya mesin jahit, Adi terpaksa meminjam milik temannya. Sedikit keahlian menjahit ia manfaatkan sebaik-baiknya. Setelah enam bulan berjalan, usahanya mulai menampakkan hasil. Adi pun memberanikan diri menggaji seorang karyawan untuk meningkatkan produksi.
Dengan satu karyawan itu, Adi mampu menghasilkan 150 tas per tahun seharga Rp 20.000 per tas. Dari harga segitu, Adi mengambil laba Rp 12.000 per tas. Maklum, modal membuat satu tas hanya Rp 8.000.
Sejak saat itu, setiap enam bulan sekali Adi menambah seorang karyawan. Untuk pemasaran, Adi memanfaatkan jaringan yang telah ia rintis saat masih berdagang tas keliling. Pada 1987, Adi mulai menjalin kerja sama dengan panitia penyelenggara rapat atau pelatihan di hotel-hotel. Pada 1987 juga dia sudah memiliki tenaga pemasaran sebanyak 18 orang.
Omzetnya pun telah melonjak hingga Rp 3 juta per hari, jumlah rupiah yang sangat besar kala itu. Sementara itu, total produksi mencapai 600 unit per hari. Laiknya roda kehidupan, posisi Adi tak selalu di atas. Adi pernah kekurangan modal untuk menyelesaikan pesanan sampai harus menjual kendaraan operasional.
Masa yang paling suram bagi Adi adalah saat pecah kerusuhan pada Mei 1998. Saat itu, para karyawannya ketakutan dan memilih pulang kampung. Sialnya, barang dagangan juga ikut mereka bawa hingga tak ada yang tersisa. Akhirnya dia rugi ratusan juta.
Toh, semangat Adi tidak pernah surut. Berbekal pinjaman bank, Adi mencoba bangkit. Beruntung, pada 1999 bisnis tas kantor kembali naik daun. Adi pun kembali menggenjot produksi dan mampu mencetak omzet Rp 50 juta per bulan.
Sekarang, dalam sebulan paling sedikit Adi memproduksi lebih dari 1.000 tas. Omzetnya sekitar Rp 100 juta, dengan margin laba 20 persen sampai 40 persen. Kini, ia punya klien tetap dari instansi pemerintah, seperti Departemen Perhubungan dan Kepolisian Republik Indonesia. Selain tas kantor, Adi juga memproduksi jenis tas lain, seperti tas perempuan.
Bisa dibilang, Adi merintis usahanya ini benar-benar dari bawah. Pria tamatan sebuah SMA di Surabaya ini sudah kenyang makan asam garam sebagai pekerja rendahan.
Mulanya, selulus SMA pada 1981, Adi mencoba mengadu nasib merantau ke Sulawesi dengan menjadi buruh di sebuah toko agen barang pecah belah. Adi terpaksa merantau karena harus membantu membiayai sekolah adik-adiknya.
Namun, ia tidak lama bekerja di toko itu. Adi pun kemudian meloncat ke Kalimantan untuk bekerja sebagai buruh kasar di PT Newmont. Namun, lagi-lagi, Adi tak betah dan memutuskan pulang ke Surabaya.
Ternyata pulang ke rumah malah membuatnya gelisah, apalagi kalau melihat adik-adiknya yang membutuhkan bantuannya. Karena itu, pada 1982, Adi nekat ke Jakarta. Di Jakarta ini, Adi tinggal di kawasan Senayan berkat kebaikan sesama perantau asal Jawa Timur dan Jawa Tengah.
Untuk menyambung hidup, Adi bekerja serabutan. Pagi hingga siang hari ia menjadi penjual tas keliling dari kantor ke kantor. Malam harinya Adi menjadi juru parkir di Senayan.
Meski penghasilannya kecil, dengan sekuat tenaga Adi berusaha menyisihkan penghasilannya untuk modal berbisnis. Modal pertamanya hanya Rp 50.000.
Dengan uang segitu, Adi kulakan tas di Pasar Pagi untuk dijual kembali. Beruntung, dagangannya selalu habis terjual. Hasil jualan selalu putar lagi.
Sayang, jiwa muda Adi yang masih bergelora membuatnya tergoda untuk berfoya-foya. Namun, setelah menikah pada 1985, Adi mulai berpikir serius menjadi pengusaha tas sendiri. Ketika itu, modalnya pun pas-pasan. Sampai terpaksa menjual perhiasan istri untuk modal awal. Lagi-lagi dengan uang Rp 50.000 Adi memulai usahanya.
Lantaran tak punya mesin jahit, Adi terpaksa meminjam milik temannya. Sedikit keahlian menjahit ia manfaatkan sebaik-baiknya. Setelah enam bulan berjalan, usahanya mulai menampakkan hasil. Adi pun memberanikan diri menggaji seorang karyawan untuk meningkatkan produksi.
Dengan satu karyawan itu, Adi mampu menghasilkan 150 tas per tahun seharga Rp 20.000 per tas. Dari harga segitu, Adi mengambil laba Rp 12.000 per tas. Maklum, modal membuat satu tas hanya Rp 8.000.
Sejak saat itu, setiap enam bulan sekali Adi menambah seorang karyawan. Untuk pemasaran, Adi memanfaatkan jaringan yang telah ia rintis saat masih berdagang tas keliling. Pada 1987, Adi mulai menjalin kerja sama dengan panitia penyelenggara rapat atau pelatihan di hotel-hotel. Pada 1987 juga dia sudah memiliki tenaga pemasaran sebanyak 18 orang.
Omzetnya pun telah melonjak hingga Rp 3 juta per hari, jumlah rupiah yang sangat besar kala itu. Sementara itu, total produksi mencapai 600 unit per hari. Laiknya roda kehidupan, posisi Adi tak selalu di atas. Adi pernah kekurangan modal untuk menyelesaikan pesanan sampai harus menjual kendaraan operasional.
Masa yang paling suram bagi Adi adalah saat pecah kerusuhan pada Mei 1998. Saat itu, para karyawannya ketakutan dan memilih pulang kampung. Sialnya, barang dagangan juga ikut mereka bawa hingga tak ada yang tersisa. Akhirnya dia rugi ratusan juta.
Toh, semangat Adi tidak pernah surut. Berbekal pinjaman bank, Adi mencoba bangkit. Beruntung, pada 1999 bisnis tas kantor kembali naik daun. Adi pun kembali menggenjot produksi dan mampu mencetak omzet Rp 50 juta per bulan.
Sekarang, dalam sebulan paling sedikit Adi memproduksi lebih dari 1.000 tas. Omzetnya sekitar Rp 100 juta, dengan margin laba 20 persen sampai 40 persen. Kini, ia punya klien tetap dari instansi pemerintah, seperti Departemen Perhubungan dan Kepolisian Republik Indonesia. Selain tas kantor, Adi juga memproduksi jenis tas lain, seperti tas perempuan.