Budpekerti Teleologi

Istilah “teleologi” berasal dari kata Yunani telos, yang memiliki arti tujuan, dan logos berarti ilmu atau teori. Berbeda dengan adab deontologi, budbahasa teleologi menjawab pertanyaan bagaimana bertindak dalam suasana positif tertentu dengan melihat tujuan atau akhir dari sebuah langkah-langkah. Dengan kata lain, budbahasa teleologi menilai baik-buruk sebuah langkah-langkah menurut tujuan atau akibat dari langkah-langkah tersebut. Suatu tindakan dinilai baik jika maksudnya baik dan mendatangkan akibat baik. Jadi, terhadap pertanyaan, bagaimana mesti bertindak dalam situasi positif tertentu, jawaban akhlak teleologi yaitu opsi langkah-langkah yang membawa balasan baik. 

Dengan demikian, mampu dikatakan bahwa akhlak teleologi lebih bersifat suasana dan subyektif. Kita mampu bertindak berbeda dalam suasana yang lain tergantung dari penilaian kita wacana akhir dari tindakan tersebut. Demikian pula, suatu tindakan yang jelas-terang berlawanan dengan norma dan nilai akhlak mampu dibenarkan oleh budpekerti teleologi cuma karena langkah-langkah itu menenteng balasan yang bagus. 

Persoalannya, tujuan yang baik itu untuk siapa? Untuk saya eksklusif, untuk pihak yang mengambil keputusan dan yang melakukan keputusan atau bagi yang orang? Apakah langkah-langkah tertentu dinilai abaik hanya alasannya berakibat baik untuk saya, atau baik alasannya berakibat baik bagi banyak orang? Berdasarkan tanggapan atau pertanyaan ini, budpekerti teleologi mampu digolongkan menjadi dua, ialah egoisme etis dan utilitarianisme. 

Egoisme etis menilai suatu langkah-langkah selaku baik alasannya berakibat baik bagi dirinya sendiri. Kendati bersifat egoistis, langkah-langkah ini dinilai baik secara akhlak alasannya adalah setiap orang dibenarkan untuk memburu kebahagiaan bagi dirinya. Oleh karena itu, setiap langkah-langkah yang mendatangkan kebahagiaan bagi diri sendiri akan dinilai baik secara budpekerti. Sebaliknya, jelek jika kita membiarkan diri kita menderita dan dirugikan. 

Utilitarianisme menganggap baik buruknya sebuah langkah-langkah berdasarkan risikonya bagi banyak orang. Etika utilitaianisme ini pertama kali dikembangkan oleh Jeremy Bentham (1748-1832). Persoalan yang dihadapi oleh Bentham dan orang-orang sezamannya yakni bagaimana menilai baik-jelek suatu kebijakan sosial, politik, ekonomi dan legal secara adab. Singkatnya, bagaimana menilai sebuah kebijakan publik. Apa patokan dan dasar obyektif yang dapat digunakan sebagai pegangan untuk mengambil dan menilai suatu kebijakan publik sungguh mungkin diterima oleh kalangan yang satu, namun ditolak oleh kelompok yang lain alasannya adalah merugikan. 

Dalam mencari dasar obyektif tersebut, Bentham menemukan bahwa dasar obyektif itu dengan menyaksikan apakah suatu kebijakan atau langkah-langkah publik menenteng manfaat atau akhir yang memiliki kegunaan, atau sebaliknya kerugian bagi orang-orang terkait. Makara, suatu kebijakan atau langkah-langkah publik tidak dinilai selaku baik atau buruk menurut nilai kebijakan atau langkah-langkah itu sendiri sebagaimana dalam teori deontologi. 

Bagi Bentham dan para penganut teori utilitarianisme, dasar obyektif itu ialah faedah yang ditimbulkan oleh kebijakan atau tindakan tersebut bagi banyak orang. Secara lebih terinci, kita mampu merumuskan dasar obyektif itu dalam tiga persyaratan berikut. Kriteria pertama ialah manfaat, adalah kebijakan atau tindakan baik ialah kebijakan atau langkah-langkah yang menghasilkan hal baik. Sebaliknya, akan dinilai buruk secara sopan santun jika menghadirkan kerugian atau hal buruk. 

Kriteria kedua adalah faedah tersebar, yaitu kebijakan atau langkah-langkah tersebut menghadirkan faedah lebih besar atau paling besar ketimbang kebijakan atau tindakan alternaif lain. Atau dalam suasana di mana semua alternatif yang ada ternyata sama-sama mendatangkan kerugian, langkah-langkah yang bagus adalah tindakan yang mendatangkan kerugian terkecil. 

Kriteria ketiga yaitu menfaat terbesar bagi sebanyak mungkin orang. Artinya, sebuah kebijakan atau langkah-langkah dinilai baik jikalau manfaat terbesar yang dihasilkan berkhasiat bagi banyak orang. Semakin banyak orang yang menikmati balasan baik tadi, semakin baik kebijakan atau tindakan tersebut.. maka, di antara langkah-langkah yang serupa-sama mendatangkan manfaat, pilih yang manfaatnya terbesar dan di antara yang keuntungannya paling besar, pilih yang manfaatnya dicicipi paling banyak orang. 

Secara singkat, prinsip yang dianut adab etilitirianisme ialah bertindaklah sedemikian rupa yang tindakanmu itu menghadirkan faedah sebesar mungkin bagi sebanyak mungkin orang (the greatest dood for the greatest number) Tida usah berusaha payah mencari norma dan nilai tabiat yang menjadi kewajiban kita. Yang perlu kita lakukan cuma menimbang-nimbah balasan dari sebuah langkah-langkah untuk menyaksikan apakah berguna atau merugikan. 

Etika utilitarianisme memiliki tiga keunggulan selaku berikut. Pertama, kriterianya rasional. Maksudnya, utilitarianisme mendasarkan evaluasi dan pertimbangan susila pada standar rasional. Ketiga persyaratan tersebut mampu diterima masuk akal oleh siapa saja yang berhadapan dengan masalah dan pilihan watak yang merepotkan. Dalam suasana dilematis, dikala di-hadapkan pada pilihan-pilihan sukar, kita diberi kritera rasional dan jelas. Ada pegangan yang menciptakan kita mengambil keputusan susila secara lebih gampang. Ada dasar rasional mengapa kita memilih alternatif yang satu dan mengabaikan yang lain. 

Kedua, akhlak utilitarianisme menghargai kebebasan setia individu dalam menentukan perilaku etika, dalam mengambil keputusan dan langkah-langkah. Maksudnya, kita tidak dibebani begitu saja oleh norma dan nilai moralyang telah biasa berlaku, namun dibiarkan untuk menentukan sendiri tindakan yang kita nilai benar berdasarkan ketiga kriteria tersebut. Kita tidak lagi dipaksa untuk sekeda mematuhi norma dan nilai tertentu (tetapi mengapa saya harus mematuhinya?) Kita melaksanakan tindakan tertentu (yang tepat dengan norma dan nilai sopan santun tertentu) sebab memang tindakan itu dalam pendapatkita mendatangkan faedah terbesar bagi banyak orang. Kita mempunyai kebebasan untuk memutuhkan sendiri sekaligus mempertanggung jawabkan mengapa kita menentukan tindakan tersebut. 

Ketiga, unsur konkret lainnya ialah bahwa utilitatianisme lebih memprioritaskan kepentingan banyak orang dibandingkan dengan kepentingan sendiri atau segelintir orang. Maksudnya, dasar pertimbangan mengapa sebuah langkah-langkah dipilih dan bukan yang lainnya sebab tindakan tersebut menjinjing faedah bagi banyak orang. Oleh karena itu, utilitarianisme tidak bersifat egoisme. Semakin banyak orang mendapatkan faedah dari sebuah kebijakan atau tindakan, kian baik kebijakan atau langkah-langkah tersebut. Utilitarianisme tidak mengukur baik-burukya sebuah tindakan berdasarkan pekentingan langsung dan kalangan. 

Ketiga keunggulan ini menimbulkan adat utilitarianisme banyak digunakan-secara sadar ataupun tidak-dalam berbagai kebijakan dan langkah-langkah publik. Idealnya, sebuah kebijakan publik menjinjing manfaat atau menguntungkan bagi siapa saja dan pihak terkait. Dalam banyak masalah, ini tidak mungkin alasannya adalah siapa saja mempunyai kepentingan secara adab, kalau menyanggupi ketiga patokan tersebut. Ketika kita tidak mampu memuaskan siapa pun, kebijakan tersebut dinilai sebagai baik secara sopan santun, paling tidak sebagian terbesar orang atau pihak terkait diuntungkan dengan kebijakan tersebut. 

Hanya saja, etika utilitarianisme pun tidak luput dari kekurangan. Walaupun sejarahnya ialah sebuah teori budbahasa yang sungguh terkenal dan banyak digunakan utilitarianisme tidak luput dari banyak sekali kritik. Pertama, kritik yang paling keras yakni utilitarianisme membenarkan ketidakadilan. Maksudnya, dengan membenarkan suatu kebijakan atau langkah-langkah hanya alasannya membawa faedah bagi sebagian besar orang, utilitarianisme sudah membenarkan kebijakan atau tindakan tersebut merugikan kepentingan sebagian kecil orang yang tidak menerima faedah dari kebijakan atau langkah-langkah tadi. Kendati ada segelintir orang yang cuma dirugikan, kebijakan tersebut dianggap benar cuma sebab membawa faedah bagi lebih banyak orang. Jelas ini tidak adil. Ia membenarkan adanya tumbal. Pertanyaannya, apakah kita mau menerima realita itu, kalau kita sendiri tergolong di dalam kelompok sebagian kecil yang dirugikan? Tentu tidak. Lalu mengapa kebijakan itu dibenarkan cuma alasannya adalah ada sebagaian besar orang diuntungkan? 

Kedua, faedah ialah sebuah konsep yang begitu luas, sehingga dalam kenyataan mudah menjadikan kesusahan. Susahnya, lebih sering faedah tersebut dilihat dalam kerangka kuantitas materialistis. Sering kali kita membenarkan sebuah kebijakan atau tindakan cuma sebab kebijakan atau langkah-langkah itu mendatangkan faedah material. Manfaat non-material mirip nama baik, kesehatan, hak, dan semacamnya sering tidak dipertimbangkan. 

Ketiga, kadang kala beberapa variabel susah dikuantifikasi sehingga tidak mudah untuk menentukan manakah manfaat terbesar daripada yang lainnya. Keselamatan kerja, lingkungan hidup, rusaknya hutan, rusaknya terumbu karang, polusi udara dan seterusnya sukar dikuantifikasi untuk memilih manfaat terbesar. Dalam hal ini, budbahasa utilitarianisme sangat membenarkan pelepassan flora transgenik, misalnya, hanya alasannya mendatangkan faedah hemat material yang besar. Atau, pengerukan pasir akan dibenarkan sebab faedah ekonomis-material yang besar. 

Keempat, manfaat yang dimaksudkan oleh akhlak utilitarianisme sering dilihat dalam jangka pendek. Padahal, dalam menganggap akhir suatu langkah-langkah kita mesti melihatnya dalam jangka panjang. Ini sungguh penting, khususnya yang berkaitan dengan kebijakan dan langkah-langkah di bidang lingkungan. Manfaat dan kerugian lingkungan tidak senantiasa bisa dilihat dan diukur dalam jangka pendek. Apalagi dalam perpektif budpekerti, banyak dampak yang berhubungan dengan nilai sopan santun baru bisa dilihat jauh sesudah kebijakan atau tindakan dijalankan. 

Kelima, utilitarianisme tidak menilai serius nilai sebuah tindakan, atau lebih tepat lagi nilai suatu norma atau kewajiban melainkan cuma mengamati akibatnya. Dengan begitu, utilitarianisme sungguh mungkin membenarkan peredaran narkoba dan pardagangan wanita, contohnya karena tindakan itu menghadirkan faedah besar. Padahal, terang-terperinci melanggar norma dan nilai susila. Itu sebabnya mengapa Kant beranggapa bahwa jika akhir menjadi tkolak ukur evaluasi watak atas sebuah tindakan, hilanglah universalitas susila alasannya setiap langkah-langkah bisa menerima evaluasi moral yang berlainan berdasarkan balasan yang di timbulkan. Demikian pula utilitarianisme tidak pernah menilai serius motivasi yang ada di balik tindakan itu. 

Keenam, seandainya ketiga standar tersebut saling bertentangan, ada kesusahan dalam menentukan prioritas di antara ketiganya. Misalnya saja, tindakan A memiliki faedah 40 persen, namun dinikmati oleh 60 persen orang. Tindakan B mambawa manfaat 60 persen, tetapi dicicipi oleh 40 persen orang. Manakah yang mesti diprioritaskan: manfaat paling besar atau jumlah orang paling banyak yang menikmati manfaat tersebut kendati keuntungannya lebih kecil? 

Para filsuf penganut adat utilitarianisme menyadari kelemahan-kelemahan adat ini. Oleh sebab itu, salah satu jalan keluar yang disodorkan dengan membedakan dua tingkatan adat utilitarianisme: utilitarianisme aturan dan utilitarianisme tindakan. Dengan perbedaan ini, maka, Pertama, mesti dicek terlebih dulu apakah kebijakan dan tindakan itu sejalan dengan hukum atau norma sopan santun yang ada atau tidak. Kalau tidak sejalan, kebijakan atau langkah-langkah itu ditolak, kendati menenteng manfaat yang besar. Kasus seperti peredaran narkoba dan jual beli wanita harus ditolak kendati menenteng faedah besar, karena berlawanan dengan norma dan nilai adab. Sebaliknya, jikalau tidak bertentangan dengan norma atau nilai susila tertentu, kita dapat menggunakan ketiga persyaratan tersebut untuk memilih apakah kebijakan atau langkah-langkah itu dipilih atau ditolak. Dengan jalan ini, norma dan nilai moral tidak diabaikan begitu saja cuma alasannya adalah sebuah kebijakan atau tindakan menjinjing manfaat paling besar. 

Kedua, dalam menilai sebuah kebijakan dan tindakan berdasaarkan alhasil, kita jangan cuma menyaksikan akibat terial-fisik melainkan juga perlu memperhitungkan akhir non-material, termasuk kerusakan mental dan budbahasa, serta kehancuran lingkungan. Demikian pula, manfaat terebut jangan hanya dilihat dalam rangka jangka pendek melainkan juga jangka panjang. Kendati dalam jangka pendek suatu kebijakan atau langkah-langkah ternyata menuntut ongkos tinggi, namun ternyata dalam jangka panajng jauh lebih menguntungkan: bukan cuma dari sisi ekonomi melainan juga dari sisi kesehatan, lingkungan, mental, akhlak, budaya. Hal itu mesti dinilai nyata dan dipilih ketimbang kebijakan dantindakan yang membawa faedah jangka pendek, namun dalam jangka panjang jauh lebih merugikan. 

Ketiga, dalam masalah ketika kita terpakasa mengambil kebijakan dan langkah-langkah yang tidak bisa menguntungkan semua pihak dan terpaksa – sebab tidak ada alternatif lain yang lebih baik - mengorbankan kepentingan segelintir orang, jalan keluar yang paling baik dengan pendekatan eksklusif untuk mampu memberi kesempatan terhadap pihak yang dikorbankan untuk menyampaikan aspirasi. Mereka perlu didengar dan berupaya mencari jalan keluar, termasuk kmpensasi yang mungkin tidak maksimal, tetapi bisa diterima. Dalam hal ini, penting sekali pendekatan yang memperlihatkan bahwa kita tidak bermaksud mengabaikan hak dan kepentingan mereka, bahkan sungguh menghargai mereka, tergolong aspirasi, hak dan kepentingan mereka. Namun, tidak ada alternatif kebijakan lain yang lebih baik. Dengan komunikasi, dengan kompensasi yang bisa diterima, secara akhlak kita berusaha memperkcil kerugian material, mental, dan adab yang dialami pihak yang terpaksa dikorbankan. Dengan cara itu, kita telah memenuhi salah satu hukum universal Kant, adalah memperlakukan orang lain sesuai dengan harka dan martaba luhur yang dihentikan diperalat bagi kepentingan orang lain. Dengan jalan itu, kita memperlihatkan sikap hormat kita kepada kepentingan mereka, yang bantu-membantu tak mau kita korbankan, namun apa boleh buat alasannya adalah tidak ada cara lain maka dengan sangat terpaksa kita korbankan, tetapi dengan kompensasi yang membuat puas mereka. 











Sonny Keraf A. (2002). Etika lingkungan. Jakarta: Penerbit Buku Kompas. (Hal. 15-22)
LihatTutupKomentar