Adat Deontologi

Istilah “deontologi” berasal dari kata Yunani deon, yang memiliki arti keharusan, dan logos mempunyai arti ilmu atau teori. Terhadap pertanyaan-pertanyaan bagaimana bertindak dalam suasana nyata tertentu, deontologi menjawab: lakukan apa yang menjadi kewajibanmu sebagaimana terungkap dalam normal dan nilai-nilai watak yang ada. Sejalan dengan itu, berdasarkan adat deontologi, sebuah langkah-langkah dinilai baik atau jelek berdasarkan apakah langkah-langkah itu sesuai atau tidak dengan keharusan. Dengan kata lain, suatu langkah-langkah dianggap baik alasannya adalah tindakan itu memang baik pada dirinya sendiri, sehingga merupakan kewajiban yang mesti kita lakukan. Sebaliknya, pelanggaran terhadap hak orang lain atau mencurangi orang alain yaitu tindakan yang buruk pada dirinya sendiri sehingga wajib dikesampingkan. Demikian pula, perilaku hormat terhadpa alam, misalnya, akan dianggap baik jikalau itu dianggap selaku sebuah kewajiban akhlak.

Dengan demikian, budpekerti deontologi sama sekali tidak mempersoalkan akhir dari langkah-langkah tersebut: baik atau buruk. Akibat dari sebuah langkah-langkah tidak pernah dipertimbangkan untuk memilih mutu tabiat atau tindakan. Hal ini akan membuka potensi bagi subyektivitas dan rasionalisasi yang mengakibatkan kita ingkat akan kewajiban-kewajiban budpekerti. Immanuel Kant (1734-1804) menolak akhir suatu tindakan sebagai dasar untuk menganggap tindakan tersebut sebab akibat tadi tidak menjamin universalitas dan konsistensi kita dalam bertindak akan menganggap suatu langkah-langkah.

Dalam perspektif itu, mencampakkan limbah ke sungai, contohnya, akan dinilai buruk secara sopan santun bukan alasannya risikonya yang merugikan. Tindakan ini dinilai buruk alasannya adalah tidak cocok dengan kewajiban akhlak untuk hormat terhadap alam (respect for nature).

Atas dasar itu, akhlak deontologi sangat menekankan motivasi, kemauan baik dan susila yang kuat untuk bertindak sesuai dengan kewajiban. Bahkan berdasarkan Kant, kemampuan baik mesti dinilai baik pada dirinya sendiri terlepas dari apa pun juga. Maka, dalam menganggap tindakan kita, kemauan baik mesti dinilai paling pertama dan menjadi keadaan dari semuanya.

Menurut Kant, kemampuan baik adalah syarat mutlak untuk bertindak secara moral. Kemampuan baik menjadi keadaan yang akan tidak mau harus dipenuhi agar insan dapat bertindak secara baik, sekaligus membenarkan tindakannya itu. Maksdunya, bisa saja akibat dari sebuah langkah-langkah memang baik, namun bila langkah-langkah itu tidak dikerjakan menurut kemampuan baik untuk menaati hukum budpekerti yang ialah keharusan seseorang tindakan itu tidak bisa dinilai baik. Akibat baik tadi mampu saja hanya ialah suatu kebetulan.

Atas dasar itu, menurut Kant, langkah-langkah yang baik ialah tindakan yang tidak saja sesuai dengan keharusan tetapi karena dijalankan berdasarkan dan demi kewajiban. Ia menolak segala tindakan yang bertentangan dengan keharusan selaku tindakan yang bagus, walaupun tindakan itu menghadirkan konsekuensi yang bagus. Demikian pula, semua tindakan yang dijalankan sesuai dengan kewajiban, tetapi tidak didasarkan pada kemauan baik untuk menghormati perintah universal, melainkan, misalnya, sebab terpaksa, akan dianggap sebagai tindakan yang tidak baik. Dalam kaitan dengan ini , hal yang juga prinsip dan penting bagi Kant, ialah melakukan suatu tindakan susila haruslah dengan kemauan keras atau otonomi bebas.

Secara singkat, ada tiga hal yang harus dipenuhi: (1) supaya sebuah tindakan memiliki nilai moral, langkah-langkah itu mesti dijalankan menurut kewajiban. (2) Nilai sopan santun sebuah langkah-langkah bukan tergantung dari tercapainya tujuan langkah-langkah itu melainkan pada kemauan baik yang mendorong seseorang untuk melaksanakan langkah-langkah tersebut – kalaupun tujuannya tidak tercapai, tindakan itu telah dinilai baik. (3) Konsekuensi dari kedua hal tersebut, keharusan untuk mematuhi hukum etika universal ialah hal yang pasti bagi sebuah langkah-langkah sopan santun.

Bagi Kant, aturan adab sudah tertanam dalam hati setiap orang dan alasannya adalah itu bersifat universal. Hukum watak itu dianggap sebagai perintah tak bersyarat (imperatif kategoris), yang bermakna aturan susila itu berlaku bagi siapa saja pada segala suasana sebab hukum watak itu telah tertanam dalam hati setiap orang.

Untuk menjelaskan aturan, budbahasa universal ini, Kant membedakan antara perintah tak bersyarat dan perintah bersyarat (imperatif hipotetis). Perintah bersyarat adalah perintah yang cuma akan dijalankan bila orang menhendaki alhasil, atau bila akibat dari tindakan itu merupakan hal yang diinginkan. Kaprikornus, perintah itu gres akan dikerjakan bila syaratnya dipenuhi, adalah kalau tercapai akibat yang dikehendaki. Sebaliknya, perintah tak bersyarat yaitu perintah yang dikerjakan begitu saja tanpa syarat apa pun, yaitu tanpa menginginkan akibat, atau tanpa mempedulikan apakah karenanya dan berkhasiat bagi orang tersebut atau tidak. Norma atau aturan susila merupakan perintah tak bersyarat.

Bagi Kant, ada tiga prinsip atau hukum universal yang ialah perintah tak bersyarat. Pertama, prinsip universal, yaitu bertindak hanya atas dasar perintah yang kau sendiri inginkan akan menjadi sebuah aturan universal. Bagi Kant, kita memiliki kewajiban untuk mematuhi apa yang kita anggap benar sehingga orang lain juga melaksanakan hal yang serupa. Oleh alasannya adalah itu, jika kita menuntut orang untuk bertindak secara tertentu sesuai dengan aturan watak, kita sendiri pun harus bertindak seperti itu.

Kedua, perilaku hormat terhadap manusia selaku tujuan pada dirinya sendiri. Maka, aturan universal yang harus dipegang yakni bertindaklah sedemikian rupa semoga kita memperlakukan insan, apakah diri kita sendiri ataupun orang lain, selalu selaku tujuan pada dirinya sendiri dan tidak pernah hanya selaku alat. Bagi Kant, manusia memiliki harkat dan martabat yang luhur sehingga dihentikan diperlakukan secara tidak adil, ditindas, diperas demi kepentingan lain. Demikian pula, kita dihentikan membiarkan diri kita diperalat, diperas, diperlakukan adikara, dan membiarkan hak kita dirampas. Kita harus menuntut biar hak kita dihargai secara patut.

Ketiga, prinsip otonomi. Kita mesti bertindak berdasarkan kemauan dan pilihan sendiri karena percaya hal itu baik, dan bukan alasannya adalah diperintah dari luar (heteronomi). Oleh alasannya itu, bagi Kant, suatu langkah-langkah menurut kemauan bebas, dan opsi bebas kita. Kalaupun langkah-langkah itu dikerjakan berdasarkan dan sesuai dengan keharusan kita akan aturan moral universal, itu dijalankan alasannya adalah kita sendiri menghendaki demikian. Kita menghendaki demikian, alasannya kita menganggapnya benar. Makara, keharusan untuk mematuhi hukum akhlak universal yaitu keharusan yang timbul dari keinginanbebas kita karena kesadaran bahwa hal itu baik. Dalam hal ini, kita bertindak demikian bukan sekedar asal sesuai dengan kewajiban, melainkan sebab kita sendiri mengharapkan apa yang menjadi keharusan kita.

Ini penting sebab Kant ingin menyingkir dari dua hal. Pertama, Kant ingin kita tidak terjebak memperlakukan perintah adab—yang adalah perintah tak bersyarat – selaku perintah bersyarat. Misalnya, kita mau berbuat baik, bertindak adil menghargai hak orang lain, dengan niat supaya dengan itu kita akan masuk nirwana. Bagi Kant, berbuat baik adalah perintah tak bersyarat yang atas kemauan kita sendiri mesti kita lakukan terlepas dari apakah ada surga atau tidak, apakah dengan demikian kita akan masuk surga atau tidak. Kedua, dengan ini. Kant ingin menghindari perilaku heteronom. Sikap yang hanya mau bertindak secara akhlak alasannya adalah diperintah dari luar, atau faktor-aspek di luar diri kita, contohnya alasannya, dikala, atau untuk dilihat orang lain.

Ada dua kesulitan yang dapat diajukan kepada teori deontologi, terutama kepada teori deontologi Kant. Pertama, dalam kehidupan sehari-hari dikala menghadapi suasana yang dilematis, etika deontologi tidak mencukupi untuk menjawab pertanyaan bagaimana saya mesti bertindak dalam suasana positif yang dilematis itu. Ketika ada dua atau lebih keharusan yang saling bertentangan, ketika kita harus memilih salah satu sambil, melanggar lainnya, budpekerti deontologi tidak banyak menolong alasannya hanya menyampaikan: bertindaklah sesuai dengan kewajibanmu.

Kesulitan ini lalu dipecahkan oleh W.D Ross dengan mengajukan prinsip prima facie. Menurut Ross, dalam kenyataan hidup ini, kita menghadapi aneka macam macam kewajiban sopan santun bahkan serempak dalam situasi yang serupa. Dalam situasi seperti ini, kita perlu memilih kewajiban paling besar dengan menciptakan perbandingan antara keharusan-keharusan itu, untuk itu, Ross memperkenalkan perbedaan antara keharusan prima facie dan keharusan-keharusan positif. Kewajiban prima facie yakni berlawanan dengan keharusan lain yang sama atau lebih besar.

Persoalan kedua, sebagaimana dikatakan oleh John Stuart Mill, para penganut adat deontologi sebenarnya tidak bisa mengelakkan pentingnya akhir dari sebuah tindakan untuk memilih apakah langkah-langkah itu baik atau buruk. Para penganut etika deontologi secara membisu-diam menutup mata kepada pentingnya akibat sebuah tindakan semoga mampu memberikan pentingnya nilai suatu tindakan susila itu sendiri. Kant sendiri tidak mengabaikan pentingnya akhir suatu tindakan. Hanya saja, dia ingin menekankan pentingnya kita menghargai tindaan selaku bermoral alasannya adalah nilai langkah-langkah itu sendiri, dan tidak terlampau terjebak dalam tujuan menghalalkan cara. Lebih dari itu, dengan teori Kant ini, ingin menekankan pentingnya hukum akhlak universal dalam hati kita masing-masing, sekaligus menghalangi subjektivitas kita dalam bertindak secara tabiat. Tanpa itu, kita mampu bertindak ssecara berubah-ubah sesuai dengan konsekuensi yang ingin kita capai. Dengan demikian, hukum etika hanya akan menjadi perintah bersyarat.

Dalam perspektif budbahasa Adam Smith, problem ini mampu dipecahkan dengan mengombinasikan keduanya. Menurut Adam Smith, suatu tindakan dapat dinilai baik atau jelek berdasarkan motif pelakunya serta berdasarkan akibat atau tujuan dari langkah-langkah itu. Ia mengkritik para fulsuf budpekerti seperti David Hume yang terlalu menekankan pentingnya balasan dalam menganggap suatu tindakan, dan kurang memeprhatikan motif pelaku. Maka, sama seperti Kant, ia sungguh menekankan pula pentingnya motif dan kemauan baik dari pelakunya.

Hanya saja, di pihak lain, bagi Adam Smith, motif dan kemauan baik saja tidak dengan sendirinya menentukan nilai sebuah tindakan. Juga motif untuk dengan sendirinya membebaskan seseorang dari kesalahan adab karena tindakannya. Misalnya, seseorang yang tanpa sengaja mencampakkan batu dari jendala rumah di lantai dua dan melukai atau bahkan menciptakan orang yang melalui di bawah sana meninggal, terperinci melaksanakan sebuah langkah-langkah yang salah secara budbahasa, bukan alasannya motifnya untuk melukai atau membunuh, melainkan karena tindakannya itu berakibat merugikan orang lain. Di pihak lain, akibat saja tidak dengan sendirinya memilih baik-jelek, tetapi langkah-langkah itu tidak bisa dinilai selaku baik, karena balasan baik itu hanya merupakan sebuah kebetulan. Sebaliknya, tindakan yang berakibat buruk tetapi dikerjakan berdasarkan kemauan baik, contohnya mencuri untuk membeli obat demi menyelamatkan nyawa saudaranya yang sedang sakit parah, mampu dibenarkan alasannya adalah beliau memiliki kemauan baik untuk menyelamatkan saudaranya kendati merugikan orang yang kecurian.










Sumber: Sonny Keraf A. (2002). Etika lingkungan. Jakarta: Penerbit Buku Kompas. (Hal 8-15).
LihatTutupKomentar