- Kurt Lewin, satu dari bapak psikologi sosial terbaru (Lihat Bab 1), sering mengatakan, “Teori yang terbaik ialah teori yang mempunyai sifat simpel,”. Maksdunya yaitu, sekali kita memperoleh pemahaman tentang faktor - aspek sikap atau cara berpikir social, kita bisa, dan sungguh mungkin, memanfaatkan pengetahuan tersebut dalam kehidupan sehari – hari, misalnya teori atribusi. Sejalan dengan berkembangnya pengetahuan kita perihal atribusi, aplikasinya dalam menyelesaikan berbagai persoalan simpel juga terus meningkat (Graham & Folkes, 1990). Berikut kita akan mempelajari dua aplikasi penting dari teori atribusi.
ATRUBUSI DAN DEPRESI.
Depresi yaitu gangguan psikologi yang paling lazim. Diperkirakan setidaknya hamper separuh insan di dunia pernah mengalami gangguan ini dalam hidupnya (contohnya dalam Blazer dkk., 1994) Meski ada banyak aspek yang berperan dalam frustasi, satu yang belakangan banyak dikaji ialah kecenderungan teladan atribusi untuk menyalahkan diri sendiri (self – defeating). Individu yang mengalami tertekan cenderung menampilkan tingkah laris yang bertentangan dengan gejala bias memprioritaskan diri sendiri mirip sudah diuraikan sebelumnya. Mereka mengatribusi hasil – hasil negative dari sikap mereka sebagai hal yang bersifat temporer dan berasal dari factor eksternal mirip nasib baik atau pinjaman orang lain (lihat 2.14). karenanya, orang tersebut merasa tidak memiliki atau sedikit sekali, control atas hal – hal yang terjadi pada dirinya. Seperti debu yang tertiup angin. Tak heran mereka menjadi demikian depresi dan cenderung gampang menyerah dalam hidup.
Untung saja, sekarang berbagai teknik terapi yang bertujuan untuk mengganti atribusi seperti ini telah dikembangkan, dan sepertinya cukup sukses (contohnya dalam Bruder dkk., 1997, Rubinson, Berman, & Neiyemer, 1990). Bentuk terapi baru ini berusaha membuat orang yang tertekan mengubah atribusinya untuk mulai member nilai tambah personal pada keberhasilan mereka, berhenti menyalahkan diri sendiri atas setiap kegagalan (terutama yang memang sulit dihindari), dan menjajal menatap beberapa kegagalan tersebut selaku aspek eksternal yang berada di luar jangkauan mereka. Terapi mirip ini tidak mengeksplorasi lebih dalam perihal aneka macam hal seperti keinginanyang terpendam, pertentangan eksklusif, atau insiden – insiden traumatic yang terjadi semasa kecil, namun nyatanya cukup berhasil. Teori atribusi ternyata terbukti dapat mengilhami terciptanya teknik terapi gres.
ATRIBUSI DAN PRASANGKA: HARGA SOSIAL YANG MESTI DIBAYAR KETIKA MEMPERTANYAKAN DISKRIMINASI.
Bayangkan situasi ini: Anda bertemu seseorang yang berasal dari golongan minoritas, dan tak usang lalu beliau bercerita pada Anda praduga – yakni alasannya dia berasal dari kalangan rasa tau suku tertentu. Kesan apa yang akan Anda berikan padanya? Prinsip – prinsip keadilan menyarankan kita untuk bersikap simpatik, karena prasangka jelas ialah kontras dari banyak sekali berpikir bahwa dia keliru, beliau benar – benar ditolak sebab tidak menyanggupi kualifikasi. Ketika anda sampai pada kesimpulan ini, Anda mungkin mendapat kesan negatif terhadapnya, memandang sebagai orang yang memang suka protes dan ingin menimpakan kegagalannya pada dugaan dan deskriminasi.
Kenyataannya teori atribusi menyatakan bahwa sepertinya kesimpulan yang terakhirlah yang lebih mungkin. Dalam berbagai kondisi, susah untuk mengenali apakah kegagalan yang dialami oleh kaum minoritas disebabkan oleh prasangka atau oleh factor lainnya. Karena ketidakpastian ini, ketika seseorang mengatribusi perilakunya pada prasangka, kita mampu jadi keliru.
Bukti atas efek ini telah diberikan ole beberapa studi (misalnya dalam Ruggiero dkk. 100), namun dari kesemuanya itu barangkali studi dari Kaiser dan Miller (2001) yang paling menggambarkan. Mereka meminta partisipan studinya untuk member peringkat mahasiswa Afro – Amerika (kulit hitam) yang setelah diberi tahu bahwa mereka gagal dalam tes, mengatribusi kegagalannya baik pada factor diskriminasi dari sebagian tim penilai (satu panel yang terdiri dari delapan orang), atau pada kualitas dari jawaban meerka. Partisipasi member penilaian kepada mahasiswa Afro Amerika ini pada skala mengeluh (sejauh mana dia bersikap hipersensistif, pengeluh, pembuat dilema, pendebat, dan sebagainya), dan pada kesan biasa para partisipan padanya (seberapa mengasyikkan, pertemanan, kejujuran, kecerdasan, dan fasilitas bergaul). Sebelum member peringkat, partisipan telah diberi tahu bahwa potensi terjadinya diskriminasi dapat menjadikan evaluasi yang keliru yakni rendah, sedang dan tinggi (tidak ada satu pun, separuh, atau semua penilaian semuanya sudah memperlihatkan tanda – tanda praduga terhadap orang Afro – Amerika).
Hasilnya sangat mempesona. Di samping adanya kecenderungan bahwa diskriminasi memang berkontribusi kepada skor yang buruk, partisipan member peringkat mahasiswa Afro – Amerika sebagai eksklusif yang suka mengeluh serta member kesan lebih tidak mengasyikkan saat para mahasiswa Afro – Amerika itu mengatribusinya pada kemampuannya sendiri (lihat Gambar 2.15). Dengan kata lain, meskipun semua penilai sudah sadar adanya kemungkinan melakukan praduga, partisipan tetap member peringkat rendah mahasiswa minoritas yang mengatribusi kesalahannya pada factor diskriminasi ini.
Sebagai telah diungkap oleh Kaiser dan Miller (2001), temuan – temuan di atas mengidentifikasikan bahwa kekalutan dinilai negative oleh orang lain telah mencegah kaum minoritas mempersoalkan diskriminasi yang mereka alami: mereka khawatir jikalau melakukan itu mereka akan dicap sebagai tukang protes. Kita akan kembali membicarakan lebih lanjut wacana faktor – aspek dalam prasangka ini di Bab 6. Saat in ikita cuma akan member catatan pentingnya perspektif atribusi dan mencari cara menyingkir dari efek yang merugikan dari prasangka.
Sumber: Psikologi Sosial Edisi Kesepuluh. Robert A. Baron (Hal 61 – 63)