Hubungan Terapis Dan Klien

APA (1967, hlm 67) menyebutkan: “Psikolog menginformasikan terhadap calon klien faktor – faktor penting dari hubungan yang mau dijalani yang mampu mempengaruhi putusan klien untuk memasuki hubungan”. Ada beberapa factor yang mampu mensugesti putusan klien untuk memasuki hubungan. Misalnya perekaman wawancara dengan menggunakan pita video atau tape – recorder. Orang – orang selain terapis dank lien mampu menyaksikan atau mendengarkan rekaman itu, juga sejumlah distributor menggunakan pengamatan melalui beling satu arah sehingga para pembimbing dan para kandidat konselor bisa mengawasi pertemuan terapi. Sejumlah sekolah menerapkan kebijakan diwajibkan melaporkan nama para klien tersebut terhadap kepala sekolah, atua kalau seorang siswi mengakui dirinya hamil atau meminta berita ihwal alat – alat kontrasepsi atau aborsi, konselor mesti melaporkan si siswa terhadap perawat sekolah yang kemudian akan memberitahukannya kepada orang bau tanah segi itu. Sering terjadi orang – orang diminta oleh orang lain untuk menjalani konseling atau meminta bantuan psikiatrik mereka bukan orang – orang yang secara sukarela menjalani kekerabatan terapeutik, melainkan subjek – subjek “konseling wajib” (mandatory counseling). Jelas bahwa kebijakan – kebijakan atau kondisi kondisi seperti acuan – contoh di atas bisa menghipnotis klien dalam membuat keputusan memasuki korelasi terapeutik. Oleh alasannya itu, merupakan praktek yang etis bagi terapis untuk menginformasikan kepada kandidat klien batas – batas korelasi teapeutik. Marilah kita ungkap dilema – persoalan yang mendasari praktek – praktek yang bisa mensugesti kekerabatan terapeutik. 

Pertama, ada akhlak mereka wawancara atau memakai beling satu arah untuk kebutuhan pengamatan. Pedoman yang tegas dalam penggunaan kedua prosedur itu adalah terapis harus meminta izin terlbih dahulu kepada klien, tidaklah etis menggunakan prosedur – prosedur tersebut tanpa sepengetahuan dan tidak seizing klien. perekaman dengan tape recorder untuk kebutuhan supervisi yakni mekanisme yang biasa dalam pendidikan konselor. Prosedur ini penting, baik bagi klien maupun bagi terapis atau pada pertemuan – konferensi sebelumnya sehabis terapi berlangsung. Kecemasan klien bisa dihapus dengan mengumumkan kepadanya bahwa para pengamat (di balik beling satu arah) hanya mengamati terapis. Bagaimanapun, jika kecemasan klien mampu berkurang, kecamasan terapis tetap ada.

Penulis mendapatkan bahwa para terapis (pemuda ataupun yang berpengalamana ragu – ragu untuk merekam wawancara mereka. Sering terjadi terapis tidak mereka wawancara terapinya dengan argumentasi bahwa berdasarkan dugaannya, perekaman mampu mengakibatkan ketidakpercayaan atau ketidaknyamanan pada klien. penulis ingin bertanya, dari mana timbulnya ketidakpercayaan pada klien. penulis ingin bertanya, dari mana timbulnya ketidakpercayaan dan ketidaknyamanan itu dari klien atau dari terapis? Harapan penulis yakni bahwa para pembimbing mampu membuat iklim di mana para calong konselor, meskupun mungkin menjadi cemas, akan bisa memasukkan konseling ke dalam rekaman. Sikap pembimbing amat penting. Jika pembimbing mengambil sikap keras, mencela, dan mendominasi, maka calon konselor cenderung menyembunyikan kesulitan – kesulitannya. Sebaliknya, kalau kandidat konselor dan pembimbing mengambil pendekatan bahwa seseorang bisa belakar lewat pengalaman yang diikat oleh tata hukuman alam, maka potensi – kesempatan kandidat konselor untuk berguru bisa dimaksimalkan.

Masalah yang kedua, sebagaimana disinggung di wajah, yang bisa mempengaruhi, putusan klien untuk memasuki hubungan terapeutik ialah bahwa beberapa distrik sekolah menerapkan kebijakan yang lebih diarahkan terhadap perlindungan hokum distriknya daripada kepad amembantu para siswa yang mengalami krisis. Misalnya, beberapa konselor sekolah dilarang mengeksplorasi alternatif – alternative siswi yang hamil, kecuali bila orang renta siswi itu diberi tahu dan dibawa mengikuti konferensi. Kebiasaan ini dapat menenteng faedah untuk waktu tertentu. Akan tetapi, apa yang mau terjadi pada siswi yang merasa bahwa dia tidak mampu atau dengan alasan – alasan sendiri, tidak mau member tahu orang tuanya bahwa dia hamil? Haruskah konselor menolak menemui si siswa, atau mengadakan pertemuan di mana setidaknya si siswa mampu mengungkapkan perasaan paniknya? Dalam sebuah persoalan yang berhubungan, penulis telah diberi tahu oleh para konselor beberapa sekolah menengah dalam suatu potensi di bengkel kerja penulis bahwa mereka diharuskan melaporkan nama – nama para siswa yang mengaku menyalahgunakan obat – obatan. Ini merintangi kemungkinan terbentuknya relasi konseling jikalau kita mengengok realita bahwa sebagian besar klien mereka ialah para pembolos tetap, sekaligus pecandu obat – obatan. Jika konselor memberitahukan batas – batas kerahasiaan terhadap kandidat kliennya, kemudian calon klien bisa menetapkan seberapa jauh beliau bisa membuka diri atau apakah ia bahkan bersedia mengawali hubungan konseling.

Masalah ketiga yang layak diungkap disini adalah apakah terapi atau konseling bisa berjalan di bawah kondisi – kondisi diperintah. Apakah “konseling wajib” itu meerupakan suatu pertentangan dalam ungkapan? Apa yang bisa dikerjakan oleh seorang konselor jika klien – klien dilayaninya sendiri atas orang – orang yang menjalani konseling alasannya adalah diperintahkan dan umumnya tidak bersedia terlibat? Masalahnya yaitu adab memaksakan konseling terhadap individu, bahkan walaupun dia terang – terangan menolak campur tangan terapeutik dalam bentuk apapun. Sebagai konselor tunjukkan posisi anda dalam keempat acuan berikut ini:
  1. Klien dikirim ke kawasan praktek swasta anda oleh petugas kehakiman dalam abad percobaan eksekusi. Dia tidak meletakkan minat pada konseling namun ingin “bebas”. 
  2. Anda melakukan pekerjaan di sebuah sentra rehabilitas dewasa, dan anda mesti menghadapi klien – klien resisten, yang berada di kantor anda cuma alasannya adalah mereka mesti melapor terhadap anda. 
  3. Orang bau tanah mengirimkan anak gadisnya ke klinik konseling anda dan dia dating dengan enggan. 
  4. Seorang didwa yang memiliki nilai jelek melapor ke kantor anda untuk “konseling’ sebab sekolahnya menerapkan kebijakan bahwa siswa yang mendapat nilai F mesti melapor untuk koseling. Ia bahwasanya tak ingin berada di kantor anda.
Menurut pertimbangan penulis, terapi bissa efektif cuma kalau klien bersedia bekerja sama dengan terapis dalam meraih tujuan – tujuan yang diterima bersama. Para klien dalam teladan – teladan di atas mungkin tidak akan bersedia bekerja sama. Satu jalan yang terbuka bagi para konselor yang ada dalam situasi menghadapi seorang klien yang resisten yakni mendatangkan kepada klien sejumlah kemungkinan yang mampu ditawarkan oleh konseling. Misalnya, konselor setuju untuk menemui gadis calon kliennya sebanyak tiga kali pertemuan cuma untuk mengeksplorasi kemungkinan – kemungkinan dari relasi konselong, dan mengakhiri konselong jikalau gadis itu tetap tak ingin meneruskannya. Konselor sekolah mampu menemui seorang siswa sekali dan menerangkan apa yang bisa ditawarkan, kemudian membiarkan siswa itu untuk menetapkan apakah beliau mau atau tak maumenjalani konselong.


Sumber: Teori dan Praktek KONSELING & PSIKOTERAPI. Gerald Corey (Hal 370 – 373)

LihatTutupKomentar