Relasi Psikologi Dengan Ilmu Alam

Pada permulaan kurun ke – 19, psikologi dalam penelitiannya banyak terpengaruh oleh ilmu alam. Psikologi disusun berdasarkan hasil eksperimen, sehingga lahirlah, antara lain, Gustav Fechermen, Johannes Muiller, Watson, dan lain – lain (Effendi & Praja, 1993; 8 – 9). Namun lalu, psikologi menyadari bahwa objek penyelidikannya ialah insan dan tingkah lakunya yang hidup dan selalu meningkat ; sedangkan objek ilmu alam ialah benda mati. Oleh sebab itu, tata cara ilmu alam yang dicoba dibutuhkan dalam psikologi, dianggap kurang sempurna. Karena itu, psikologi mencari sistem lain ang sesuai dengan sifat keilmuannya sendiri, yakni antara lain sistem “fenomenologi”, suatu metode observasi yang menitikberatkan gejala hidup kejiwaan.

Pada dasarnya, psikologi, secara prinsipil dan secara metodik, sungguh berbeda dengan ilmu pegetahuan alam. Sebabnya, antara lain, pada ilmu pengetahuan alam, orang meneliti objeknya secara murni ilmiah, dengan memakai hukum – hokum dan gejala penampakan yang bisa diperhatikan dengan cemat.

Pada kejadian – peristiwa ilmu alam, terdapat unsure – unsure kemantapan, konstansi dan konsistensi yakni semua gejalanya mampu berlangsung secara berulang – ulang dan konsistensi; yakni semua gejalanya mampu berjalan secara berulang – ulang dan bisa tetap sama. Dengan ciri – ciri inilah, orang mampu memperhatikan dan memperhitungkan dengan cermat, dan membuat hukum – hokum alam. Lebih – lebih dengan pinjaman pemahaman logis serta perhitungan ilmu niscaya, orang mencoba mengerti sifat dan hakikat objek penelitiannya.

Sebaliknya, psikologi berusaha mempelajari diri insan, tidak sebagai “objek” murni, tetapi dalam bentuk kemanusiaannya; mempelajari manusia sebagai subjek yang aktif dan mempunyai sifat – sifat tertentu subyek yang aktif itu diartikan sebagai pelaku yang dinamis, dengan bisa memahami semua kegiatan manusia itu, orang berusaha dengan menyaksikan “partisipasi sosial”nya, kemudian berupaya menimbulkan pengalaman orang lain selaku pengalaman dan pemiliknya sendiri








Sumber: PSIKOLOGI UMUM. Drs. Alex Sobur, M. Si. (Hal. 69 – 70)
LihatTutupKomentar