Kemampuan Klinis Yang Sempurna Guna Secara Kultural

pendekatan-pendekatan dan teknik-tenik yang dipakai seorang psikolog untuk memperbaiki kehidupan seorang klien semestinya sesuai dengan nilai-nilai dan pengalaman hidup klien yang bersangkutan (Hall, Hong, Zane & Meyer, 2011; Hwang, 2011; Toporek, 2012). “Terapi bicara” mungkin cocok untuk banyak kalangan budaya, namun bagi beberapa golongan budaya mungkin tidak sesuai. Serupa dengan itu, klien dari beberapa budaya mungkin menilai penting “wawasan” wacana problem psikologis mereka, yang diperoleh selama berbulan-bulan, tetapi klien dari budaya-budaya yang lain mungkin merespons secara jauh lebih nyata pada terapi berorientasi-langkah-langkah dengan konsentrasi jangka-pendek. fitur-fitur biasa lain dari psikoterapi tradisional, teramsuk mengungkapan sendiri secara verbal wacana aneka macam persoalan langsung dan sesi 50-menit di dalam suatu gedung perkantoran, mungkin sama sekali tidak cocok dengan klien dari latar belakang budaya tertentu (Comas-Diaz, 2012).

Salah satu keahlian klinis yang sempurna guna secara cultural yang menerima lebih banyak perhatian selama beberapa tahun terakhir melibatkan mikroagresi. mikroagresi yaitu komentar atau tindakan di dalam konteks lintas budaya yang menawarkan kepercayaan prasangka, negative, atau stereotipikal adanya mungkin memberikan dominasi atau superioritas suatu kelompok atas kelompok lain (Fouad & Arredondo, 2007; Sue, 2010; Sue dkk., 2007). Sering kali, mikroaresi ini yakni “hal-hal kecil” yang mungkin dikatakan seseorang pada orang lain tanpa maksud berselisih atau tanpa menyadari bahwa komentar itu mungkin mengivalidari atau mencibir - tetapi, pada kenyataannya demikian. Mikroagresi sering berpusat pada etnisitas atau ras (contohnya, Franklin, 2007; Sue, Capodilupo & Holder, 2008), namun mungkin juga melibatkan sejumlah perbedaan di antara orang-orang, seperti umur, gender, status sosial ekonomi, agama/spiritualitas atau orientasi seksual. Sebagai teladan, amati seorang psikolog yang, selama wawancara awal dengan seorang mahasiswa pria berumur 19 tahun menanyakan, “Apakah Anda memiliki pacar (girldfriend)”? Pertanyaan “girlfriend” itu dapat mengomunikasian asumsi di pihak psikolog bahwa kekerabatan heteroseksual yaitu normal atau apa yang diharapakan atau apa yang dianggpa “benar”. Terutama bila kliennya gay atau biseksual, pertanyaan semacam itu dapat memiliki konsekuensi negative dalam kaitannya dengan pembentukan hubungan terapeutik yang sebaiknya klien merasa dihargai dan diterima. Atau jikalau seorang psikolog bertemu dengan seorang klien terapi berumur 7 tahun pada 27 Desember dan menanyakan, “Jika apa yang dibawa Santa Klaus untukmu”? anak itu mungkin merasa direndahkan bila dia Muslim, Yahudi, Buddha, atau tidak merayakan Natal. Cara terbaik bagi psikolog untuk menyingkir dari mikroagresi yakni menelaah fikiran dan iktikad yang mendasarinya, yang mampu menciptakan kerendahhatian dan kesadaran diri yang lebih tinggi di pihak psikolog (Vasquez 2010). (Tautan Web 4.5 Mikroagresi.)

Upaya –upaya terkini ke arah pencapaian keahlian klinis yang sempurna guna secara cultural menekankan pada gagasan penyesuaian cultural terhadap penanganan dengan bukti-bukti empiris untuk mendukungnya (Bernal, Jimenez Chafey, Rodriguez, 2009; Smith, Rodriguez & Bernal, 2011). Dengan kat alain, setelah psikologi klinis menciptakan daftar penanganan-penanganan ini mungkin perlu diadaptasikan untuk anggota dari bermacam-macam budaya (Castri, Barrera & Steiker, 2010; Mulvaney-Day, Early, Diaz-Linhart & Alegria, 2011). (Selain, itu, banyak di antara studi yang menghasilkan derma empiris bagi penanganan – penanganan berbasis bukti dijalankan pada klien-klien yang rentang cultural kolektifnya sangat sempit.) Sebagai contoh, La Roche, Batista dan D’Angelo (2011) menelaah sejumlah besar skripsi khayalan – intruksi – intruksi yang dibacakan atau direkam psikolog bagi klien ketika mereka mencoba menginduksi relaksasi Sering kali skrip ini memasukkan pernyataan seperti, “Bayangkan diri Anda sendirian di pantai yang hening” atau “Bayangkan diri Anda sendiri sedang berada dipadang rumput yang indah”. Situasi-suasana semacam itu sungguh “solo”-dengan kata lain, lingkungan yang menggambarkan keindahan alam itu melibatkan klien yang sendirian. Di banyak etnisitas, adegan yang kelibatkan perasaan kebersamaan atau keterhubungan dengan orang lain mungkin lebih dapat menangkap relaksasi atau kebahagiaan – melalui kalimat, “Bayangkan diri Anda berada di antara orang-orang yang konkret dan membuat Anda merasa nyaman dengan diri Anda sendiri”. La Roche dkk. memperoleh bahwa skrip khayalan menekankan sebuah orientasi “solo” (atau idiosentrik”), bukan orientasi “bareng ” (atau alosentrik), yang mungkin tidak konsisten dengan nilai-nilai budaya dari banyak klien. Mereka merekomendasikan biar klinisi yang memakai teknik semacam itu berbagi keanekaragaman skrip imajinasi, termasuk yang aloesentik, dan tidak menyodorkan skripsi idesentrik terhadap semua klien. Adaptasi semacam ini - saat klinisi mempertimbangkan bagaimana klien yang bermacam-macam mererespons dengan cara berbeda kepada penanganan kriteria (kerap kali berbasis bukti), versus penanganan yang diubahsuaikan baginya – mulai muncul (Gelso, 2011).









Sumber: Pomerantz, A. M. (2014). Psikologi klinis: Ilmu pengetahuan, praktik dan budaya (3rd ed.). Yogyakarta: Pustaka Pelajar. (Hal 105 – 107)
LihatTutupKomentar