Kompetensi Terapis

Sebagai prinsip adat dasar, para terapis dibutuhkan menyadari batas – batas kompetensinya serta pembatasan – pembatasan langsung dan profesinya. Para terapis yang etis tidak memakai  diagnostika atau prosedur – prosedur treatment yang berada di luar lingkup latihan mereka, juga mendapatkan klien yang fungsi personalnya  terganggu secara serius kecuali apabila mereka mempunyai kemampuan dalam mengatasi klien semacam itu. Seorang terapis yang menyadari bahwa dirinya kurang kompeten dalam mengatasi suatu perkara, bertanggung jawab untuk berkonsultasi dengan rekan – rekannya atau dengan pembimbing  atau membuat rujukan.
 
Apa yang menciptakan seorang pempraktek “Qualified”? Apakah pemilikan gelar atau surat iman, atau ijazah memadai untuk sebutan “kompetensi”? Standar – kriteria bagi kompetensi bermacam-macam dari satu ke lain Negara. Masalah selanjutnya yaitu bahwa banyak pempraktek yang di atas? Kertas “Qualified” nyatanya “tidak qualified” untuk memasuki praktek terapis. Sebaliknya, banyak orang yang berdasarkan tubuh – badan pemberi ijazah “tidak qualified”, tetapi dalam praktek jauh lebih efektif disbanding dengan orang – orang yang diberi ijazah. Masalah ini memang tidak terperinci.

Para pempraktek yang kompeten mesti terus – menerus menaksir komptensi mereka dalam hubungan dengan klien – klien guna menentukan apakah ia mampu atau tidak mampu memasuki relasi terapeutik dengan mereka. Para konselor atau terapis yang paling terlatih pun adakalanya perlu berkonsultasi dengan rekan – rekannya atau dengan seorang seorang ahli dalam bidang yang berhubungan. Mungkin seorang terapis yang telah melakukan pekerjaan mengatasi seorang klien selama abad waktu yang panjang menjadi kehilangan perspektif dengan kliennya itu. Adalah bijaksana bila para terapis bermusyawarah untuk menyebarkan pandangan atas apa yang terjadi pada diri klien mereka, pada diri mereka sendiri, dan yang terjadi antara mereka dengan para klien. kalau seorang klien terus – menerus mengeluh perihal tanda-tanda – tanda-tanda klien itu muncul oleh alasannya adalah – karena psikologis. Bagaimana bila klien bantu-membantu memiliki tumor di otaknya dan konselor luput untuk mengirim klien kepada seorang dokter untuk suatu investigasi fisik?

Jika para pempraktek yang berpengalaman perlu sekali – sekali berkonsultasi, maka tidak perlu dibilang lagi bahwa para terapis pemula memerlukan supervise dan konsultasi terus – menerus. Dalam kerja melatih para calon konselor, penulis menemukan seabagian besar dari merekaberhasrat sekali untuk memperoleh pengarahan dan supervise. Mereka sering meminta waktu komplemen dan sangat ingin mendiskusikan secara terbuka reaksi – reaksi, hambatan – hambatan, putus asa – putus asa, dan kebungungan – kebungungan mereka dalam pertemuan – konferensi praktikum. Karena menyadari kebutuhan akan kecakapan bekerja menangani problem – duduk perkara yang di abawa oleh klien, mereka cenderung mengharapkan kesempatan untuk mendiskusikan kerja lapangan mereka. Oleh akhirnya, menjadi sebuah persoalan yang etis dan simpel menawarkan supervise yang mencukupi kepada para kandidat konselor demi kesejahteraan supervise yang memadai terhadap para calon konselor demi kemakmuran klien dan kemajuan profesi para calon konselor itu. Suatu dilema bisa timbul apabila calon konselor ditempatkan di suatu distributor pelayanan dan tenggelam dalam pekerjaannya sehingga dia cuma mempunyai sedikit kesempatan untuk mendapatkan supervisi. Penulis telah mendorong para calon konselor untuk secara aktif mencari supervisi dan menyediakan waktu satu jam dalam sepekan untuk mengeksplorasi muatan kasus mereka. Jika pembimbing tidak memberikan  supervisi yang saksama, maka kandidat konselor perlu berguru meminta apa yang mereka butuhkan.

Berkaitan dengan problem perihal kompetensi adalah pertanyaan – pertanyaan: “Bentuk pendidikan, latihan, dan supervisi yang bagaimana dibutuhkan untuk menjamin komptensi?” dan “Pengalaman – pengalaman macam apa yang diharapkan oleh para calon konselor?” Ada dua persepsi yang berlawanan mengenai antisipasi yang dibutuhkan bagi praktek konseling dan terapis. Di satu pihak yaitu persepsi bahwa kerja klinis dalam bentuk apapun, bahkan juga di bawah supervisi, jangan ditempuh sebelum tamat acara kandidat doctoral atau bahkan para kurun pasadoktoral. Pandangan ini menganggap praktek konseling oleh “amatir” tak berpengalaman dan belum terlatih yang belum mendapatkan gelar Ph. D. sebagai berbahaya dan tidak etis. Di lain pihak, pandangan yang mengusulkan penyelenggaraan latihan dalam konseling dan banyak sekali pengalaman praktikum pada tahap awal dalam program mahasiswa. Pandangan ini membenarkan pelaksanaan praktek di bawah bimbingan semenjak dini pada masa persiapan guna menumbuhkan kematangan dan tanggung jawab perorangan mahasiswa. Penulis cenderung terhadap persepsi yang kedua. Pandangan penulis ialah bahwa program konseling semestinya dimasukkan ke dalam fase – fase akademis dan pengalaman, dan bahwa para konselor akan efektif kalau mereka memperoleh latihan semenjak tingkat subdoktoral.

Sebagai pola bisa penulis ungkap gambaran pokok dari program palyanan insan di California State Univesity di Fullerton. Program sarjana muda dalam pelayanan manusia mencakup pengalaman – pengalaman praktikum di bawah bombing dan kuliah – kuliah dalam ilmu – ilmu pengetahuan tingkah laris yang terdiri dari “Teori dan Teknik – Teknik Konseling”, “Analisa Penelitian”, “Seminar Penaksiran”, “Psikologi Pekembangan”, “Psikologi Kepribadian”,  “Psikologi Abnormal”, “Modifikasi Tingkah Laku”, “Deviansi Sosial”, “Teknik – Teknik Intervensi Kasus”, “Analisis Program”, “Studi – Studi Silang Budaya”, kuliah yang berorientasi kalangan dalam pertumbuhan pribadi, dan lima peran opsi yang diadaptasi dengan minta masing – masing mahasiswa. Para mahasiswa menjalani praktikum – praktikum selama empat semester – dua semester kerja lapangan di bawah bimbingan di dalam kampus dan dua semester kerja praktek di luar kampus pada biro – agen pelayanan biasa . Para mahasiswa yang terlibat dalam praktikum dua tahun diberi supervisi eksklusif dan berkumpul setiap ahad dalam kalangan – kalangan kecil untuk mendiskusikan penempatan mereka di lapangan, mengeksplorasi perkara – masalah, serta untuk mempelajari teknik – teknik konseling dan kerja menangani perkara. Para mahasiswa juga memiliki pembimbing – pembimbing yang berpraktek yang membimbing mereka dalam kerja di lapangan.

Apa hasil – hasil acara semacam ini? Karena acara ini baru menginjak tahun keempat, maka susah untuk mengevaluasi hasil – hasilnya. Para mahasiswa sangat bersemangat dengan keterlibatan mereka dalam acara. Mereka menawarkan kemajuan dan dari penelitian mereka dalam acara. Mereka menawarkan perkembangan dan dari penelitian permulaan, lebih terlibat dengan pendidikan mereka disbanding dengan yang yang lain. Mereka utamanya menghargai penggabungan aspek – aspek pengalaman dan praktek dengan kuliah akademis. Pengalaman sepertinya memberikan banyak arti dikaitkan dengan kuliah  kuliah dalam psikolog, sosiologi, konseling, observasi, dan sebagainya. Kuliah – kuliah pun menjadi jauh lebih bermakna karena para mahasiswa bisa melihat penerapan – penerapan kasatmata dalam pengalaman – pengalaman praktikum mereka.

Umpan balik dari luar pun sungguh menguntungkan. Dari para mahasiswa yang meneruskan pendidikannya ke jenjang yang lebih tinggi, kami sering mendengar komentar – komentar bahwa seluruh pengalaman mereka di tingkat sarjana muda tampaknya lebih canggih dan lebih berarti di banding dengan kuliah – kuliah mereka dalam acara master di bidang konseling.

Kesimpulannya, penulis percaya bahwa mungkin menciptakan konselor – konselor yang efektif pada taraf pada taraf bachelor. Keyakinan penulis berlandaskan asusmsi bahwa orang – orang ini mula – mula disaring dengan cermat untuk acara itu, penyaringan yang ketat ini dijalankan pula selama praktikum – praktikum. Evaluasi para mahasiswa dalam acara pendidikan konseling ini memperlihatkan citra yang bagus tentang kesanggupan – kesanggupan dibutuhkan dari para calon konselor alasannya adalah kemampuan nyata seorang mahasiswa bisa ditaksir sesuai dengan criteria penerapan wawasan dan kecapakan dalam suasana – situasi yang sebernarnya.




Sumber: Teori dan Praktek KONSELING & PSIKOTERAPI. Gerald Corey (Hal 366 – 370)
LihatTutupKomentar