compliance digunakan untuk mendorong seseorang secara lembut biar menyetujui sebuah usul. ,eskipun demikian, pada beberapa perkara, seruan membutuhkan obedience, pergantian dalam perilaku sebagai respon kepada perintah orang lain. Meskipun obedience jauh kurang lazim dibandingkan konformitas dan compliance, hal tersebut terjadi dalam beberapa macsmhubungan tertentu, misalnya kita dapat memperlihatkan obedience kepada atasan kita, guru kita, atau orangtua sebab kekuatan yang mereka miliki untuk memperlihatkan imbalan atau menjatuhkan hukuman.
Untuk mendapatkan pemahaman mengenai ketaatan, amati bagaimana anda akan bereaksi jika seseorang yang asing memberitahu anda:
Saya telah mendapatkan cara gres untuk mengembangkan memori. Hal yang saya butuhkan yaitu anda mengajarkan terhadap orang-orang serangkaian kata dalam daftar, kemudian menguji mereka. Prosedur tes tersebut yakni anda mesti memperlihatkan kejutan listrik setiap kali penerima tes melaksanakan kesalahan dalam tes tersebut. Untuk memberi kejutan listrik ini, anda akan menggunakan sebuah “generator pengejut” yang mengeluarkan kejutan listrik berkisar dari 15 hingga 450 volt. Anda mampu menyaksikan tombol yang diberikan label dari “kejutan listrik ringan” hingga “kejutan listrik berbahaya” yang terdapat tiga tanda X untuk kejutan tertinggi. Namun, angan khawatir; meskipun kejutan tersebut mungkin terasa sakit, mereka tidak akan mengakibatkan kerusakan permanen.
Dihadapkan pada suasana ini, anda atau orang lain kemungkinan besar akan menyetujui permintaan abnormal orang abnormal tersebut. Jelas, hal tersebut diluar batas apa yang kita sebut dengan kebaikan.
Apakah demikian adanya? Misalnya, seorang aneh meminta pertolongan Anda tersebut yaitu seorang psikolog yang sedang melakukan eksperimen, atau permintaan tersebut datang dari guru, atasan, atau komandan anda-siapa saja dalam otoritas yang terlihat mempunyai argumentasi untuk mengajukan perintah.
Jika anda masih yakin bahwa anda kemungkinan besar tidak akan rela melaksanakan hal ini-pikirkan kembali.suasana yang disebutkan diatas menggambarkan eksperimen klasik yang dilakukan oleh psikolog sosial Stanley Milgram, pada tahun 1960-an. Dalam observasi ini, seorang peneliti memberi tahu kepada para partisipan untuk menawarkan kejutan yang semakin kuat terhadap orang lain sebagai bagian dari observasi tentang mencar ilmu. Pada kenyataannya, eksperimen ini sama sekali tidak terkait dengan proses berguru; masalah bantu-membantu yang sedang diamati adalah tingkat ketika partisipan akan rela untuk melakukan seruan dari eksperimenter. Pada kenyataannya, pelajar yang semestinya menerima kejutan ialah seorang rekanan yang tidak pernah sungguh-sungguh mendapatkan hukuman (Milgram, 2005).
Mayoritas orang yang mendengar deskripsi dan observasi Milgram merasa bahwa kemungkinan kecil ada partisipan yang mau memperlihatkan kejutan dalam tingkat optimal-atau dalam hal ini adalah tidak menawarkan kejutan sama sekali. Bahkan, sekelompok psikiater yang diberi tahu wacana suasana tersebut mempredikdi bahwa kurang dari 2 persen partisipan yang akan sepenuhnya rela dan melakukan kejutan yang lebih besar.
Meskipun demikian, hasil aktualnya berlawanan dengan prediksi dari para ahli dan nonahli. Sekitar 65 partisipan akibatnya memakai kejutan tertinggi-450 volt-kepada sang pelajar. Obedience ini terjadi meskipun sang pelajar-yang sudah menyebutkan pada permulaan eksperimen bahwa beliau memiliki penyakit jantung-memohon untuk dilepaskan dan berteriak, “Keluarkan aku dari sini! Keluarkan saya dari sini! Saya punya penyakit jantung! Keluarkan saya dari sini!” Terlepas dari permintaan pelajar tersebut, pada umumnya partisipan terus menawarkan terapi kejut.
Mengapa sungguh banyak individu yang patuh terhadap ajakan eksperimenter? Partisipan yang diwawancarai secara mendalam setelah eksperimen mengatakan bahwa mereka patuh, khususnya karena mereka percaya bahwa sang ekspetimenter akan bertanggung jawab atas setiap imbas yang mungkin menyakitkan yang menimpa pelajar tersebut. Partisipan menerima perintah sang eksperimenter karena mereka berpikir bahwa mereka secara personal tidak dapat mengemban amanah untuk tindakan mereka-mereka selalu dapat menyalahkan sang eksperimenter (Blass, 1996, 2004).
Meskipun pada umumnya partisispan dalam eksperimen Milgram menyampaikan bahwa mereka mencicipi pengetahuan yang diperoleh dari penelitian tersebut memperingan ketidaknyamanan yang sebelumnya mereka rasakan, ekperimen etrsebut telah mengundang kritikan sebab menciptaka lingkungan percobaan yang sangat menantang bagi para partisipan, sehingga mengembangkan perhatian akhlak yang serius. Tidak disangsikan lagi, eksperimen yang sama tidak lagi dapat dilaksanakan saat ini karena pendapatetis.
Kritikan yang lain menyebutkan bahwa metode Milgram tidak efekitif untuk menciptakan suasana yang benar-benar mencerminkan obedience dalam dunia positif. Misalnya, seberapa sering seseorang ditempatkan dalam situasi dikala seseorang memerintahkan mereka untuk melukai seorang korban, sementara mereka mesti mengabaikan protes dari para korban tersebut (Blass, 2000, 2004)?.
Terlepas dari hal-hal tersebut, observasi Milgram tetap menjadi demonstrasi laboratorium terkuat untuk memperlihatkan obedience. Sebagian duplikasi dari pekerjaan Milgram yang dikerjakan secara lebih etis ini menemukan hasil yang mirip dengan penambahan kepercayaan dari hasil kerja permulaan (Blass; Burger, 2009).
Terlebih lagi, kita hanya perlu menimbang-nimbang hal-hal nyata dari obeidience kepada otoritas untuk melihat beberapa kehidupan positif yang paralel. Misalnya, sehabis Perang Dunia II, pertahanan utama yang diberikan oleh pasukan Nazi untuk membolehkan partisipasi mereka dalam kekejaman pada saat perang tersebut adalah mereka cuma mengikuti perintah. Eksperimen Milgram yang sebagian dimotivasi oleh hasratnya untuk bertanya menjelaskan sikap sehari-hari warga Jerman pada Perang Dunia II, memaksa kita untuk mengajukan pertanyaan kepada diri kita sendiri: Akankah kita mampu bertahan dari kekuatan otoritas yang intens?
Sumber: Sumber: Feldman S. Robert. 2011. Pengantar Psikologi, Jakarta: Salemba Humanika.