Compliance: Menyesuaikan Dengan Tekanan Sosial Eksklusif

konformitas, kita umumnya berbicara mengenai fenomena dikala tekanan sosial yang ada bersifat terselubung atau tidak langsung. Namun, dalam beberapa situasi, tekanan sosial jauh lebih terang dengan tekanan yang eksklusif dan eksplisit untuk menekankan sudut pandang tertentu atau berperilaku dengan cara tertentu. Psikolog sosial menyebut tipe perilaku yang timbul selaku respons kepada tekanan sosial secara langsung selaku compliance.

Beberapa teknik khusus mewakili perjuangan untuk meraih compliance. Berikut beberapa yang sering diterapkan.

1. Teknik foot in the door. Seorang tenaga pemasaran datang ke rumah anda dan meminta anda untuk menerima suatu sampel kecil. Anda oke, dan berpikir bahwa anda tidak akan rugi apa-apa. Beberapa waktu lalu, datanglah ajakan lain yang lebih besar; dikarenakan telah menyepakati usul pertama, anda mengalami kesulitan untuk menolak seruan kedua tersebut.

Dalam perkara tersebut, sang tenaga penjualan menggunakan strategiyang sudah terbukti yang disebut oleh psikolog sosial sebagai teknik in the door. Anda meminta seseorang untuk menyetujui usul kecil, lalu meminta orang tersebut untuk fokus pada undangan lain yang lebih penting. Terbukti bahwa compliance dengan seruan yang lebih penting meningkat secara signifikan saat seseorang tela terlebih dulu baiklah dengan permintaan yang lebih kecil. Para peneliti pertama kali mendemonstrasikan fenomena ini dalam satu penelitian dikala sejumlah peneliti pergi dari pintu ke pintu untuk meminta warga menandatangani petisi perihal cara mengemudi yang aman (Freedman & Fraser, 1996). Hampir setiap orang memenuhi undangan yang sederhana tersebut. Beberapa ahad lalu, peneliti yang berbeda mengontak warga yang serupa dan menciptakan usul yang juga lebih besar semoga warga memaksimalkan suatu tanda yang sungguh besar di halaman depan rumah mereka yang bertuliskan “Drive Carefully”. Hasilnya terperinci: 55 persen dari mereka yang telah menandatangani petisi sebelumnya menyepakati undangan tersebut, sedangkan cuma 17 persen partisipan dalam kelompok control yang belum diminta untuk menandatangani petisi tersebut setuju untuk memasang tanda sebagaimana yang diminta.

Mengapa teknik ini bekerja? Untuk satu alasan, keterlibatan dalam seruan yang kecil mendorong ketertarikan terhadap sebuah dilema: melaksanakan langkah-langkah-apa pun bentuknya-membuat individu lebih berkomitmen kepada persoalan tersebut, sehingga memajukan kemungkinan compliance di masa depan. Penjelasan lain bergerak diantara persepsi diri seseorang. Dengan menyesuaikan pada seruan awal, individu mampu melihat diri mereka sebagai seseorang yang memperlihatkan perlindungan saat diminta. Kemudian, dikala dihadapkan pada ajakan yang lebih besar, mereka oke untuk menjaga konsistensi dalam perilaku dan sikap yang sudah kita gambarkan sebelumnya. Meskipun kita tidak tahu klarifikasi yang lebih akurat diantara kedua klarifikasi tersebut, terang bahwa strategi ini lebih efektif (Burger & Caldwell, 2003; Bloom, McBride, & Pollak, 2006; Gueguen dkk., 2008).

2. Teknik door in the face. Seorang penggalang dana meminta konstribusi sebesar 500 dolar. Anda menolak sambil tertawa dan memberitahunya bahwa jumlah tersebut jauh diatas kesanggupan anda. Kemudian, dia meminta konstribusi sebesar 10 dolar saja. Apa yang anda lakukan? Jika anda sama seperti kebanyakan orang, anda mungkin akan jauh lebih rela dibandingkan jikalau sang penggalang dana tersebut belum pernah mengajukan permintaan konstribusi yang besar sebelumnya. Dalam seni manajemen yang disebut dengan teknik door in the face, seseorang membeuat permintaan yang lebih besar, berharap biar ditolak, dan mengikuti dengan undangan yang lebih kecil. Strategi yang ialah kebalikan dari pendekatan foot in the door, sudah terbukti efektif (Pascual & gueguen, 2005, 2006; Turner dkk., 2007; Ebster & Neumayr, 2008). 

Dalam eksperimen lapangan yang mendemonstrasikan keberhasilan pendekatan ini, peneliti ini menghentikan mahasiswa di jalan dan meminta mereka untuk menyetujui sebuah hal-berperilaku sebagai konselor yang tidak dibayar untuk sebuah masalah kenakalan remaja selama dua jam per ahad selama dua tahun (Cialdini dkk., 1975). Tidak mengejutkan, tidak ada seorang pun setuju untuk berkomitmen sebesar itu. Akan namun, ketika mereka diminta untuk melaksanakan hal yang jauh lebih kecil, yaitu menjinjing sekelompok dewasa bandel untuk ke kebun binatang selama dua jam, setengah partisipan setuju. Sebagai perbandingannya, hanya 17 persen partisipan dari golongan control yang belum pernah mendapatkan ajakan yang lebih besar menyatakan setuju.

Teknik ini telah banyak digunakan. Anda mungkin pernah mencobanya berulang kali untuk memajukan uang saku dalam jumlah yang cukup besar sebelum kemudian meminta dalam jumlah yang lebih kecil. Demikian pula penulis untuk program di televise kadang-kadang mewarnai naskah mereka dengan hal-hal yang mereka tahu akan dipotong oleh tubuh sensor dengan berharap bahwa frasa kunci lainnya akan tetap terjaga (Cialdini & Sagarin, 2005).

3. Teknik that’s not all. Dalam teknik ini, seorang petugas penjualan menawarkan penawaran terhadap anda dalam harga yang telah diturunkan. Namun, setelah penawaran pertama, petugas pemasaran tersebut menawarkan insentif, potongan harga, atau bonus untuk menutup tawaran tersebut.

Meskipun mungkin terdengar transparan, praktik ini mampu cukup efektif. Dalam suatu penelitian, sang eksperimener membuat ruang pajang dan menjual cupcakes dengan harga 75 sen per buah. Dalam keadaan lainnya, mereka memberi tahu terhadap sang pelanggan bahwa harga kue tersebut sebelumnya adalah 1 dolar, namun telah diturunkan menjadi 75 sen. Sebagaimana yang mampu kita prediksikan, lebih banyak orang yang berbelanja kue tersebut dengan harga yang “telah diturunkan”-walaupun nilainya sama dengan harga dalam kondisi eksperimental lainnya (Burger, Reed, & DeCesare, 1999; Pratkanis, 2007).

4. Sampel yang tidak sepenuhya gratis. Jika anda pernah emnerima sampel gratis, perlu diingat bahwa sampel tersebut datang bareng sebuah ongkos psikologis. Meskipun mereka mungkin tidak menyebutkan istilah tersebut, para tenaga penjualan yang memperlihatkan sampel terhadap konsumen potensial melaksanakan hal ini untuk mendesak norma timbal balik. Norma timbal balik adalah standar sosial yang diterima dengan baik yang menyebutkan bahwa kita mesti memperlakukan orang lain sebagaimana kita memperlakukan diri kita. Menerima sampel yang tidak sepenuhnya gratis, sehingga mengandung komponen kebutuhan akan adanya langkah-langkah akhir-tentu saja dalam bentuk pembelian (Cialdini, 2006; Park & Antonioni, 2007; Burger dkk., 2009).

Perusahaan-perusahaan yang berusahah menjual produk mereka terhadap pelanggan sering menggunakan teknik yang diidentifikasi oleh psikolog sosial untuk memajukan compliance. Namn, para majikan juga memakai teknik ini untuk menghasilkan compliance dan memajukan produktivitas karyawan di kawasan kerja. Pada kenyataannya, psikologi industri-organisasi(I/O), kerabat dari psokologi sosial memperhatikan duduk perkara-problem, seperti motivasi, kepuasan, keamanan, dan produktivitas pegawai. Psikolog industry-organisasi juga berkonsentrasi pada operasi dan rancangan organisasi-bertanya seperti bagaimana pengambilan keputusan mampu ditingkatkan dalam industry yang besar dan bagaimana kesesuaian antara pekerja dengan pekerjaan mereka dapat dimaksimalkan.





Sumber: Sumber: Feldman S. Robert. 2011. Pengantar Psikologi, Jakarta: Salemba Humanika.
LihatTutupKomentar