perkembangan kepribadian anak tunanetra masih sering diperdebatkan. Namun sebagian besar peneliti setuju bahwa akibat dari ketunanetraan mempunyai pengaruh yang cukup bermakna bagi perkembangan kepribadian anak. Berbagai hasil observasi memperlihatkan bahwa terdapat beberapa perbedaan sifat kepribadian antara anak tunanetra dengan anak awas. Ada kecenderungan anak tunanetra relative lebih banyak yang mengalami gangguan kepribadian dicirikan dengan introversi, neurotic, frustrasi, dan rigiditas (kekakuan) mental. Namun, demikian, di sisi lain terdapat pula hasil – hasil penelitian yang menyatakan bahwa tidak terdapat perbedaan yang bermakna dalam hal pembiasaan diri antara anak yang tunanetra dengan anak awas. Dalam hal tes kepribadian didapatkan pula bahwa tes – tes kepribadian yang sudah tolok ukur pun tidak secara khusus didedikasikan bagi tunanetra. Situasi kehidupan yang berlainan antara anak tunanetra dengan anak awas kadang kala menjadikan tafsiran yang berbeda pula terhadap sesuatu hal yang diajukan.
Mengenai tugas rancangan diri dalam pembiasaan terdapat lingkungannya, Davis (Kirtley, 1975) menyatakan bahwa dalam proses perkembangan awal, diferensiasi rancangan diri ialah sesuatu yang sungguh susah untuk diraih. Untuk memasuki lingkungan gres, seorang anak tunanetra harus dibantu oleh ibu untuk orang tuanya proses komunikasi verbal, memberikan semangat, dan menunjukkan citra lingkungan tersebut sejelas – jelasnya mirip anak tunanetra perihal tubuhnya sendiri.
Hasil observasi lain juga memberikan anak – anak tunanetra yang termasuk setengah melihat memiliki kesulitan yang lebih besar dalam mendapatkan desain diri disbanding anak yang buta total. Kesulitan tersebut terjadi sebab mereka sering mengalami pertentangan identitas di mana sebuah ketika ia oleh lingkungannya disebut anak awas namun pada saat lainnya disebut selaku anak buta atau tunanetra. Bahkan acap kali ditemukan anak – anak tunanetra kelompok ini mengalami krisis identitas yang berkepanjangan. Konsep diri yaitu salah satu determinan dari perilaku langsung, dengan demikian ketidakpastian konsep diri anak tunanetra akan menimbulkan duduk perkara – dilema adaptasi seperti dalam problem seksual, relasi pribadi, mobilitas, dan keleluasaan. Ada kecenderungan pula bahwa anak – anak tunanetra setelah lahir akan lebih sukar mengikuti keadaan daripada tunanetra semenjak lahir.
Penelitian lain yang dikerjakan oleh Blank (1957) tentang pengaruh factor ketidaksadaran kepada perilaku anak tunanetra pada balasannya berkesimpulan bahwa dalam persepsi psikoanalisis, keberadaan mata mempunyai signifikansi dengan organ seksual dan kebutaan dengan pengkebirian (castration). Selanjutnya diterangkan pula bahwa persoalan – problem emosional dan tingkah laku yang dihadapi anak tunanetra terjadi sebab sebab – sebab yang serupa dengan yang terjadi pada anak wajar mirip gangguan hubungan antara orang bau tanah dengan anak pada kurun kanak – kanak, gangguan organis dalam system syaraf sentra, factor konstitusi badan, serta faktor – aspek irit, pendidikan, medis, dan tenaga professional lain yang diharapkan untuk tunanetra dan keluarganya.
Bagi anak tunanetra, reaksi terhadap kebutaan juga diharapkan dalam pembentukan contoh – contoh tingkah laku selanjutnya. Bila kebutaan kepada terjadi pada dikala ego mulai berkembang, maka pengalaman traumatic tidak akan mampu dihindarinya. Anak akan mengalami shock dan kemudian frustasi sebab pada ketika itu dalam diri anak mulai timbul kesadaran akan dirinya secara luas.
Berdasarkan observasi sehari – hari dimengerti bahwa anak tunanetra juga sering memberikan karakteristik perilaku tersendiri yang berlawanan dengan orang wajar . Perilaku khusus tersebut timbul sebagai kompensasi dan ketunanetraannya. Mernutu Adler, seseorang berkembang alasannya perasan rendah diri (inferior) dan perasaan inilah yang mendorong seseorang bertingkah laku meraih rasa superior, sehingga pertumbuhan itu terjadi. Kompensasi yaitu salah satu cara untuk mencapai rasa superior tersebut. Perilaku – sikap khas dan sifatnya kompensatoris pada nak tunanetra yang sering ditemui utamanya pada usia remaja diantaranya ialah pertahanan dirinya yang berpengaruh. Anak tunanetra condong bertahan dengan idea tau pendapatnya yang belum tentu benar berdasarkan penilaian lazim.
Disamping itu, Sukini Pradopo (1976) mengemukakan gambaran sifat anak tunanetra diantaranya ialah ragu – ragu, rendah diri, dan curiga pada orang lain. Sedangkan Sommer menyatakan bahwa anak tunanetra cenderung mempunyai sifat – sifat yang berlebihan, menghindari kontak social. Mempertahankan diri dan menyalahkan orang lain, serta tidak mengakui kecacatannya.
Sumber: Psikologi Anak Luar Biasa. Dra. Hj. T. Sutjihati Somantri, Mpsi., psi. (Hal 83 – 85)