Pertumbuhan Sosial Anak Tunanetra

- Perkembangan sosial bermakna dikuasainya seperangkat kemampuan untuk bertingkah laris sesuai dengan tuntutan penduduk . Bagi anak tunanetra penguasaan seperangkat kamampuan berperilaku laris tersebut tidaklah gampang. Dibandingkan dengan anak awas, anak tunanetra lebih banyak menghadapi dilema dalam kemajuan sosial. Hambatan – kendala tersebut utamanya timbul selaku akhir pribadi maupun tidak langsung dari ketunanetraannya. Kurangnya motivasi, cemas menghadapi lingkungan social yang lebih luas atau gres, perasaan – perasaan rendah diri, aib, sikap – perilaku masyarakat yang kadang-kadang tidak menguntungkan mirip penolakan, penghinaan, perilaku tak acuh, ketidakjelasan permintaan social, serta terbatasnya kesempatan bagi anak untuk belajar wacana teladan – pola tingkah laris yang diterima ialah kecenderungan tunanetra yang mampu menjadikan pertumbuhan sosialnya menjadi terhambat. Kesulitan lain dalam melakukan tugas pertumbuhan sosial ini adalah kekurangan anak tunanetra untuk dapat mencar ilmu sosial lewat proses identifikasi dan imitasi. Ia juga mempunyai kekurangan untuk mengikuti bentuk – bentuk permainan sebagai wahana peresapan norma – norma atau aturan – hukum dalam bersosialisasi.

Pengalaman sosial anak tunanetra pada usia dini yang tidak menyenangkan seabgai balasan dari perilaku dan perlakuan negative orang tua dan keluarganya akan sangat merugikan perkembangan anak tunanetra. Hal ini sebab usia tersebut merupakan periode – masa kritis di mana pengalaman – pengalaman dasar sosial yang terbentuk pada kurun itu akan sulit untuk diubah dan terbawa hingga dia cukup umur. Anak tunanetra yang mengalami pengalaman sosial yang menyakitkan pada usia dini cenderung akan menawarkan sikap – perilaku yang mengelak atau menolak partisipasi sosial atau pemilihan perilaku sosial yang negative pada tahapan pertumbuhan berikutnya. Untuk menghindari kemungkinan terjadinya penyimpangan – penyimpangan dalam pertumbuhan sosial anak tunanetra, perilaku dan perlakuan orang bau tanah dan keluarga tunanetra nampaknya mesti menjadi perhatian khususnya pada usia dini.

Masa sosialisasi yang sebenarnya akan terjadi pada dikala anak memasuki lingkungan pendidikan kedua, yaitu sekolah. Pada masa ini anak akan dihadapkan pada banyak sekali aturan dan disiplin serta penghargaan kepada orang lain. Masa transisi dari orientasi lingkungan keluarga ke sekolah acap kali menyebabkan dilema – persoalan pada anak, terutama anak tunanetra. Bagi anak tunanetra, memasuki sekolah atau lingkungan yang gres yakni ketika – saat yang kritis, apalagi ia telah mencicipi dirinya berlainan dengan orang lain yang tentunya akan mengundang banyak sekali reaksi tertentu yang mungkin mengasyikkan atau sebaliknya. Ketidaksiapan mental anak tunanetra dalam memasuki sekolah atau lingkungan baru atau kelompok lain yang berbeda atau lebih luas terkadang mengakibatkan anak tunanetra gagal dalam berbagi kamampuan sosialnya. Apabila kegagalan tersebut dihadapi selaku sebuah realita dan tantangan, maka lazimnya akan menjadi modalitas utama dalam memasuki lingkungan yang baru perilakunya. Namun bila kegagalan dihadapi selaku suatu ketidakmampuan, maka sikap – sikap ketidakberdayaan yang hendak timbul menumpuknya menjadi suatu rasa frustasi yang mendalam dan balasannya anak menghindari kontak sosial, menarik diri, dan apatis.

Pada kesudahannya mampu ditarik kesimpulan bahwa bagaiamana perkembangan sosial anak tunanetra sungguh bergantung pada bagaimana perlakuan dan penerimaan lingkungan terutama lingkungan keluarga kepada anak tunanetra itu sendiri. Akibat ketunanetraan secara langsung atau tidak pribadi, akan besar lengan berkuasa terhadp pertumbuhan sosial anak seperti keterbatasan anak untuk belajar sosial melalui identifikasi maupun artifisial, keterbatasan lingkungan yang mampu dimasuki anak untuk menyanggupi keperluan sosialnya, serta adanya aspek – aspek psikologis yang menghalangi cita-cita anak untuk memasuki lingkungan sosialnya secara bebas dan kondusif.




Sumber: Psikologi Anak Luar Biasa. Dra. Hj. T. Sutjihati Somantri, Mpsi., psi. (Hal 83 – 85)
LihatTutupKomentar