Tingkat (Levels) Dan Tujuan Psikoterapi

Kumpulan materiPsikoterapi menurut Phares (1992) mampu dibedakan dalam beberapa faktor, adalah berdasarkan taraf kedalamnya, dan berdasarkan tujuannya.

Menurut kedalamannya dibedakan psikoterapi suportif, psikoterapi reeduktif, dan psikoterapi rekonstruktif. Psikoterapi suportif maksudnya memperkuat perilaku adaptasi diri klien yang sudah baik, memberi pinjaman psikologis, dan menghindari diri dari perjuangan untuk menggali apa yang ada dalam alam bawah sadar klien. Alasan penghindaran sebab kalau akan di”Bongkar” ketidaksadarannya, klien ini kemungkinan akan menjadi lebih parah dalam pembiasaan dirinya. Psikoterapi suportif umumnya dilakukan untuk memberi derma pada klien untuk tetap bertahan menghadapi kesulitannya.

Psikoterapi reeduktif bertujuan untuk mengubah asumsi atau perasaan klien biar dia mampu berfungsi lebih efektif. Disini terapis tidak cuma memberi pemberian, namun juga mengajak klien atau pasien untuk mengkaji ulang doktrin klien, mendidik kembali, supaya ia mampu beradaptasi lebih sehabis memiliki pengertian yang gres atas persoalannya. Terapis di sini tidak hanya menghalangi diri membicarakan kesadaran saja, namun juga tidak terlampau menggali ketidaksadaran. Psikoterapi jenis reedukatif ini lazimnya yang terjadi dalam konseling.

Psikoterapi rekonstruktif bermaksud mengganti seluruh kepribadian pasien/klien, dengan menggali ketidaksadaran klien, menganalisis prosedur defensif yang patologis, memberi pengertian akan adanya proses – proses tak sadar, dan seterusnya. Psikoterapi jenis ini berkaitan dengan pendekatan psikoanalisis dan lazimnya berjalan intensif dalam waktu yang sangat usang.

Menurut maksudnya, Hokanso (1983, dalam Phares 1992) membahas psikoterapi yang bertujuan untuk menanggulangi krisis, untuk pergantian sikap, untuk mengganti pengalaman emosional, dan untuk memperoleh pengertian (Insight).

Contoh terapi suportif yang bermaksud mengatasi krisis adalah yang biasa dilaksanakan dalam rumah sakit atau dalam sentra krisis di lingkungan masyarakat yang sedang mengalami syok. Misalnya, menanggulangi stress berat kekerasan (di Pusat Krisis), atau pada pasien yang mengalami psikosis (di Klinik RS). Tujuan pergeseran perilaku umumnya dilaksanakan dengan menerapkan prinsip – prinsip berguru atau menggunakan teknik – teknik Self – regulation. Contoh problem yakni mengubah kebiasaan jelek yang tidka mendukung penawaran khusus kesehatan. Tujuan mengganti pengalaman emosi dijalankan dengan mekanisme yang tergolong relationship therapy. Contoh problem untuk pendekatan ini yaitu cara penyesuaian yang jelek pada pengalaman interpersonal yang menyakitkan di abad lalu. Tujuan menemukan insight dan pergantian dapat dilaksanakan dengan tata cara pendekatan psikoanalitis, tata cara psikoterapi client – centered, gestalt therapy, dan lain – lain. Contoh duduk perkara untuk jenis tujuan ini yaitu simtom, ganjalan dan lain – lain yang tidak mampu diketahui dan tidak dapat terselesaikan oleh klien.

Psikoterapi dan Teori Kepribadian

Perbedaan tujuan dan tingkat psikoterapi mirip ini tidak terlepas dari teori kepribadian yang melandasinya. Teori ini terlepas dari teori kepribadian yang melandasinya. Teori ini adalah psikoanalisis, teori sikap, teori humanistik dan fenomenologis, teori klinis – sosial dan pendekatan sosiokultural dalam psikologi klinis.

Psikoterapi psikoanalitis atau psikodinamik, mirip dikemukakan di atas mempunyai tujuan rekonstruktif. Terapi psikodinamik bertujuan menyebabkan pengertian (insight) pada klien wacana dilema – problem, mendobrak (working through) untuk melaksanakan pemahaman berikutnya, dan mengembangkan pengendalian ego atau desakan id dan superego. Beberapa cara untuk sampai pada tujuan itu yakni: perkumpulan bebas, analisis mimpi, analisis transference, analisis atas perilaku klien yang menolak untuk berganti (resistance) dan lain – lain, dan selanjutnya melakukan interpretasi psikoanalitis. Psikoterapi psikodinamik ada bermacam – macam sesuai dengan tokoh – tokoh yang telah membuatkan teori kepribadian dengan konsepnya masing – masing. Analisis fungsi ego dikerjakan oleh tokoh – tokoh mirip Erikson, Melanie Klein, Hartmann, Rapoport, dan Anna Freud. Analisis riwayat hidup untuk hingga pada style of life dikerjakan oleh terapi psikodinamik Adler. Sedangkan Kohut dengan desain self – psychology-nya berusaha untuk mencari apa yang tidak didapat oleh klien dalam hal empati dan nurturance ketika ia masih bayi, yang mesti diberikan dalam psikoterapi psikodinamik.

Terapi sikap (Behavioral) dan terapi sikap kognitif (cognitive – behavioral), juga bermacam – macam dalam tata cara yang digunakan. Teknik desensitisasi sistematik dan exposure dapat dipakai untuk menghilangkan perilaku fobia, sesuatu dengan pergantian sikap lewat prinsip mencar ilmu kondisioning klasik. Sedangkan latihan keterampilan sosial dan modelling dilakukan sesuai dengan teori belajar sosial. Terapi aversif, dan manajemen kontigensi (contingency management) berkaitan dengan pergeseran perilaku yang berkaitan dengan teori berguru kondisioning operan. Dalam terapi sikap jenis cognitive – behavioral therapy atau singkat CBT, komponen kognitif dipakai sebagai variabel antara stimulus dan sikap, biar efektivitas dari pergantian sikap lebih permanen. CBT diasosiasikan dengan Beck, dan Ellis berbagi Rational – Emotive Therapy atau RET. Masih ada tokoh – tokoh terapi sikap lainnya dengan anjuran tata cara masing – masing.

Terapi fenomenologis/eksperiensial ialah sejalan dengan teori kepribadian fenomenologis dan humanistik, yang beryakinan bahwa insan harus dimengerti melalui dunia pengalaman dan penghayatan pribadinya (fenomenologis) dan bahwa manusia memiliki pembawaan yang intinya baik. Karena itu proses untuk ialah lingkungan yang memberi potensi untuk berbagi diri (humanistik). Konsep – desain Rogers seperti unconditional positive regard, empathy, congruence yaitu desain – rancangan yang diutamakan dalam terapi client – centered. Dalam terapi jenis ini, terapis diharapkan mampu menawarkan empati kepada klien, menawarkan unconditional positive regard, agar klien mampu berganti, menjelma lebih congruent.

Terapi yang berorientasi pada pendekatan sosiokultural mampu mirip dengan ketiga pendekatan yang telah dibahas di atas, namun penafsiran konsep – desain teoretik yang disuguhkan dalam teori itu diinterpretasi tidak terlepas dari normal sosial dan kultural yang dianut oleh klien. Misalnya jika kompleks oedipus yang menjadi konsentrasi, perlu diperhitungkan apakah hal itu sesuai dengan nilai kultural dan sosial yang berlaku di lingkungan sosial klien. Keterbukaan yang dianjurkan dalam terapi fenomenologis, apakah memang menjadi sesuatu yang penting dalam lingkungan keluarga yang sungguh islami? Ini semau perlu penelaahan lebih lanjut, supaya sesuai dengan orientasi sosiokultural.







Sumber: Pengantar Psikologi Klinis. Suprapti Slamet I.S. – Sumarmo Markam (Hal 136 -142)
LihatTutupKomentar