Tujuan Psikoterapi Humanistik

Tujuan utama psikoterapi humanistic yakni untuk mendukung kemajuan aktualisasi-diri. kaum humanis percaya bahwa problem psikologis – depresi, kecemasan, gangguan kepribadian, gangguan makan dan pada umumnya bentuk psikopatologi lain – yaitu produk sampingan dari proses pertumbuhan yang terhambat. orang-orang yang mencari pemberian professional untuk masalah psikologis di dalam dirinya mempunyai kapasitas dan kemauan untuk berkembang kea rah sehat, tetapi, entah bagaimana, pertumbuhan mereka terganggu atau terdistorsi. tugas terapis humanistic yaitu, lewat kekerabatan terapeutik, membuat sebuah iklim sehingga klien dapat mengembalikan pertumbuhan alamiah mereka kea rah kesehateraan psikologis.

Kalau siapa saja semenjak permulaan hidupnya dibimbing oleh kecenderungan aktualisasi diri, bagaimana kita bisa mendapatkan diri kita merasa stress, cemas, atau bergulat dengan isu psikologis? jawabannya terletak di dalam fakta bahwa kebutuhan akan perhatian kasatmata kadang kala dapat melampaui kecenderungan alamiah untuk mengaktualisasi diri. Artinya, saat kita menghadapi opsi dan/ atau antara mendapatkan perhatian konkret dari orang-orang penting di dalam kehidupan kita dan mengikuti kecenderungan alamiah kita sendiri, maka kita, berdasarkan kebutuhan tersebut, memilih perhatan faktual.

Masalah muncul saat perhatian nyata ini bersyarat, bukan tanpa syarat. Perhatian konkret bersyarat mengomunikasikan bahwa kita diberi kado “ hanya jika” kita memenuhi kondisi/syarat tertentu. kalau Anda menimbang-nimbang keluarga Anda sendiri atau keluarga teman kurun kanak-kanak Anda, Anda barangkali mampu mendidentifikasi beberapa tolok ukur yang bernilai yang ditetapkan orangtua pada anak-anaknya. Kondisi-kondisi ini tidak ditempelkan di kulkas selaku daftar , tetapi bagaimanapun juga, dikomunikasikan berpakaian mirip yang kami suka, mengadopsi nilai-nilai kami, unggul dalam seterusnya. lazimnya , anak-anak mampu mencicipi syarat-syarat yang dituntut oleh orangtuanya untuk penerimaan mereka, dank arena mereka membutuhkan penerimaan orangtuanya, mereka berupaya sebaik-baiknya untuk memenuhi syarat-syarat tersebut. Akan namun, di dalam prosesnya, mereka kadang kala melenceng dari kencenderungan aktualisasi-dirinya sendiri, yang dapat menenteng mereka ke arah lain. Makara, ketika mereka membandingkan diri aktualnya-diri sejati mereka-dengan diri yang sebaiknya mereka miliki jikalau mereka menyanggupi potensinya sendiri – diri ideal – maka mereka melihat sebuah ketidaksesuaian. hmanis memakai istilah inkongruensi untuk mendeskripsikan ketidaksesuaian ini, dan mereka melihatnya sebagai akan psikopatologi. Sebaliknya, kongruensi – kesesuaian antara diri sejati dan diri ideal - dicapai kalau aktualisasi diri dibiarkan membimbing kehidupan seseorang tanpa interferensi oleh kriteria yang bernilai apa pun, dan, selaku kesudahannya, kesehatan mental teroptimalkan. Artinya, kongruensi terjadi ketika seseorang mengalami perhatian kasatmata tanpa syarat dari orang lain. Tidak ada syarat “cuma jikalau” dibebankan pada mereka semoga diterima, sehingga mereka bebas untuk berkembang dan berkembang menurut kecenderungan aktualisasi-dirinya sendiri (Cain, 2010).

Penting untuk dicatat bahwa walaupun patokan yang bernilai mulanya berasal dari orang lain, mereka pada karenanya mampu menjadi merasuk ke dalam pandangan kita tentang diri kita sendiri. Artinya, perhatian aktual bersyarat dari orang lain melahirkan perhatian faktual bersyarat terhadap diri sendiri, sementara perhatian aktual tanpa syarat dari orang lain melahirkan perhatian positif pada diri sendiri yang tanpa syarat. Orang – orang yang penting di dalam hidup kita mengomunikasikan terhadap kita ihwal apa yang mampu dicintai, bisa diterima, atau “patut diberi penghargaan” ihwal diri kita sendiri - diri secara keseluruhan atau cuma faktor – aspek tertentu dan diri kita dan akhirnya ktia mengadopsi pandangan tersebut di dalam evaluasi kita perihal diri kita sendiri.

Sebagai acuan prinsip-prinsip humanistic ini, simak Mark, seorang mahasiswa tahun pertama. Berbeda dengan teman-sobat sekelasnya, yang belum menetapkan tentang jurusan atau jalur kariernya, Mark sudah sejak usang menetapkan bahwa ia ingin menjadi seorang pengacara. Selaam bulan pertamanya di kampus, ia mendeklarasikan terhadap dirinya sendiri bahwa dia yaitu seorang calon mahasiswa jurusan aturan, memetakan planning empat tahun untuk memasuki fakultas hukum, dan membuat daftar fakultas hukum yang ingin dilamarnya. Minat Mark di bidang aturan sangat disokong oleh kedua orangtuanya. Orangtuanya sendiri, serta satu-satunya saudara kandung Marks, yakni pengacara yag mapan. selama periode kanak-kanak Mark, mereka sering berkomentar wacana peluangMark selaku seorang pengacara - “Dengan nilai-nilai bagus mirip ini, kau bisa masuk fakultas hukum paling top di negeri ini”, “Menyenangkan sekali bahwa kelak kami akan mampu menyerahkan firma ini kepadanya - kelak beliau niscaya akan menjadi pengacara jago”! Di berbagai titik selama masa kanak-kanaknya, Mark menunjukkan minat pada kegaitan-kegiatan lain, seperti acting, olahraga dan jurnalisme, tetapi orangtuanya tidak pernah terlalu memberi perhatian pada acara-aktivitas atau prestasinya di bidang tersebut. Mereka jauh lebih kepincut dengan aktivitas klub debatnya, yang mereka anggap selaku precursor untuk karier hukumnya, dibandingkan pertandingan sepak bolanya, atau postingan-artikel Koran sekolah yang dibuatnya.

Di semester kedua, Mark mengambil kuliah sejarah seni untuk memenuhi standar mata kuliah pilihan. Meskipun ia enggan untuk mengakui, dia bahwasanya mendapatkan dirinya sangat menikmati mata kuliah itu - jauh melebihi kuliah aturan. Selama waktu luangnya, dia asyik membaca buku teks mengenai sejarah seni dan melakukan penelusuran online tentang topic-topik terkait. Ia bahkan meminjam beberapa bahan melukis dari teman sekamarnya dan menjajal melukis . Akan namun, dikala orangtuanya datang berkunjung, ia menyembunyikan minatnya di bidang seni ini. Ia merasa bahwa orangtuanya akan menolaknya dan, yang lebih signifikan, akan menolak dirinya kalau mereka tahu bahwa beliau sangt menggemari seni. Orangtuanya bahkan menegaskan bahwa penerimaan mereka atas dirinya bergantung pada penyeleksian bidang aturan selaku jalur kariernya, dan Mark merasa bahwa mereka tidak akan mendukungnya – secara emosional, secara financial, atau dengan cara lain - kalau beliau mengikuti minat intrinsiknya sendiri. Mark risikonya menjadi seorang pengacara, dan walaupun dia mencapai keberhasilan, dia senantiasa tidak senang bahwa sisi seninya tidak pernah dibiarkan untuk tumbu. Faktanya, Mark lalu menyadari bahwa sementara “cabang” aturan dari dirinya sendiri mendapatkan banyak “sinar matahari”, banyak cabang lain sudah terabaikan. Ketika beliau membandingkan kehidupan nyatanya – sebagai seorang pengacara tanpa minat, kesanggupan, atau kemampuan lain yang dikembangkannya – dengan diri ideal yang sebaiknya dapat dicapainya, beliau menyaksikan ketidakkongruenan yang menciptakan merasa tidak puas dan tidak senang. Jika Mark ingin menemukan yang menghargainya “apa adanya” – seorang terapis humanistic, misalnya – ia mungkin akan lebih bisa menyaksikan dirinya tanpa syarat, mengikuti kecenderungan aktualisasi dirinya sendiri, dan meraih kongruensi yang lebih besar antara diri sejati dan diri idealnya.





Sumber: Pomerantz, A. M. (2014). Psikologi klinis: Ilmu pengetahuan, praktik dan budaya (3rd ed.). Yogyakarta: Pustaka Pelajar. (Hal 378-381).
LihatTutupKomentar