- Awal dari kehidupan, setiap orang mulai mempunyai persepsi ihwal siapa dirinya, tergolong apakah beliau harus melabel dirinya selaku “wanita” atau “laki – laki”. Dengan kata lain, setiap orang membangun suatu identitas sosial (social identity), sebuah definisi diri yang memandu bagaimana kita mengonseptualisasi dan mengecek diri sendiri (Deauz, 993). Identitas sosial meliputi banyak karakteristik unik, seperti nama seseorang dan rancangan self, selain banyak karakteristik yang lain yang serupa dengan orang lain (Sherman, 1994). Menyusul faktor yang telh disebutkan di atas, ada pula gender, kekerabatan interpersonal kita (anak wanita, anak laki – laki, pasangan, orang tua, dll): atribut khusus (homoseksual), pintar, keterbelakangan mental, pendek, ganteng dll); dan afiliasi etnis atau religious (Kristen, Orang Selatan, Hispani, Yahudi, warga Kulit Htam, Muslim, Atheis, Hick, dll). (Deaux dkk., 1995).
Ketika kita berinteraksi dengan orang asing dan tanpa identitas (seperti di Internet), berlawanan dengan saat kita berinteraksi dengan orang aneh yang kita lihat (mirip di video) kita memajukan kecenderungan untuk mengategorisasikan diri kita sendiri dalam grup grup tersebut, merasa positif terhadap grup – grup tersebut dan memiliki stereotip perihal orang lain atas dasar golongan di mana mereka menjadi anggotanya. (Lea, Spears, & de Groot, 2001).
Menurut Jackson dan Smith (1999), identitas sosial dapat dikonseptualisasikan paling baik dalam empat dimensi: persepi dalam konteks antarkelompok, daya tarik In-group, doktrin yang saling terkait dan depersonalisasi, seperti yang digambarkan dalam Gambar 5.1. Peran yang dimainkan oleh identitas sosial dalam relasi antarkelompko tergantung pada dimensi yang mana yang berlaku. Jackson dan Smith (1999) menyatakan bahwa hal yang mendasari keempat dimensi tersebut yaitu dua tipe dasar identitas: aman dan tidak aman. Ketika identitas kondusif memiliki derajat yang tinggi, individu cenderung mengevaluasi out-group lebih baik, lebih minim bias jika membandingkan in-group dengan in-group dan kurang yakin pada homogenitas in-group. Sebalikknya identitas tidak aman dengan derajat yang tinggi berhubungan dengan penilaian yang sangat aktual terhadap In-group, bias lebih besar dalam membandingkan in-group dengan out-group, dan pandangan homogenitas in-group yang lebih besar.
Walaupun kenyataan jelas – terang menyatakan bahwa kita memperoleh banyak aspek identitas kita dari orang lain, siapa diri kita sebagian diputuskan oleh hereditas. Karakteristik fisik seperti jenis kelamin, ras, dan warna rambut ialah acuan – pola terperinci, tetapi ada imbas genetik yang lain. Salah satu pendekatan untuk memilih pengaruh mana yang lebih besasr yakni dengan membandingkan kembar identik dan kembar deda telur. Peran factor genetic timbul dikala kembar identik lebih serupa dalam karakteristik bawaan disbanding kembar beda telur Hur, McGue, dan Lacono (1998) membandingkan beberapa ratus pasangan kembar wanita baik dari kelompk kembar identik maupun beda telur (usia sebelas dan dua belas tahun), tentang seberapa sama mereka dalam banyak sekali aspek identitas sosial. Sekitar sepertiga dari varias konsep self mereka disebabkan oleh peberdaan genetik. Efek genetik terbesar ialah pada pandangan populritas self dan performa fisik, namun ada aspek yang signifikan meskipun lebih kecil, yang imbas pada persepsi terhadap kecemasan, kebahagiaan, dan kesanggupan akademik. Sebagian dari siapa diri kita dan bagaimana kita mempersepsikan diri kita sendiri didasarkan pada factor – factor bawaan ini.
Banyaknya kategori yang menyusun identitas sosial terkait dengan dunia interpersonal. Mereka mengidentifikasikan sejauh mana kita serupa dan tidak serupa dengan orang lain di sekeliling kita. Ketika konteks sosial seseorang berubah membandung sebuah identitas sosial baru dapat menjadi sumber stress yang besar (Sussman, 2000). Individu mengatasi tertekan tersebut dengan aneka macam cara yang berbeda (lihat Bab 13). Sebagai contoh, saat mahasiswa Hispanik di Amerika erikat meninggalkan suatu subbudaya di mana mereka ialah secara umum dikuasai dan memasuki subbudaya Anglo – seperti saat mereka memasuki universitas atau menjadi pegawai dalam suatu organisasi – stres yang dihasilkan kadang-kadang menimbulkan satu atau dua reaksi yang umum. Salah satunya yaitu kian mengidentifikassi dan terlibat dalam kegiatan Hisspanik, kelompok berbahasa dengan faktor etnis dalam identitas politik sebagai usaha akan kekuasaan yaitu menjadi kurang mengidentifikasi diri dengan apa pun yang berbau Hispanik, mungkin bahkan mengadopsi nama model Anglo dalam namanya, mencar ilmu untuk mengatakan tanpa aksen Hispanik, dan kebanyakan menjadi berasimilasi dan tidak mampu dibedakan dari orang lain dalam budaya mayoritas (Ethier & Deaux, 1994).
Sumber: Psikologi Sosial Edisi Kesepuluh. Robert A. Baron. Donn Byrne (Hal 163 -164)