- Kajian metafiska dikenal juga selaku kajian realism dari metaetika. Metafisika ialah kajian tentang segala sesuatu yang berada di alam semesta. Berbagai materi di alam semesta terbuat dari perwujudan fisik, seperti baru, dan yang yang lain bersifat non-fisik, seperti asumsi, spirit, dan yang kuasa – ilahi. Komponen metafisika dari metaetika ialah pembahasan khusus jika nilai – nilai akhlak ialah kebenaran awet yang timbul dalam realitas spirit, atau cuma berupa konvensi insan. Terdapat dua arah diskusi biasa dalam topic ini, pertama yang disebut “dari dunia lain” (other-worldly) dan “dari dunia ini” (this-worldly).
Pendukung pandangan “dari dunia lain” lazimnya meyakini bahwa nilai – nilai moral adalah sesuatu yang objektif dalam pemahaman bahwa hal tersebut muncul dari dunia spriritual di luar konvensi insan yang subjektif. Mereka juga yakin bahwa nilai – nilai budpekerti merupan sesuatu yang mutlak dan baka, tidak pernah berubah dan berlaku universal sejauh mampu diterapkan pada semua makhluk rasional di seluruh dunia sepanjang waktu. Contoh paling dramatik dari persepsi ini ialah Plato, ang terinspirasi dari bidang matematika. Ketika kita melihat pada angka – angka dan kekerabatan matematika mirip 1 + 1 = 2, hal ini tampaksebagai konsep sepanjang waktu yang tidak pernah berganti, dan dapat diterapkan di mana saja di alam semesta. Manusia tidak menciptakan angka – angka, dan insan tidak mampu merubahnya. Plato menjelaskan huruf awet dari matematika dengan menyatakan bahwa mereka wujud abstrak yang timbul dalam dunia spiritual. Dia menyatakan bahwa nilai – nilai budpekerti adalah kebenaran kekal yang juga abstrak, seabgai wujud spiritual. Dalam pemahaman ini, berdasarkan Plato, nilai – nilai akhlak merupakan objek spiritual.
Filsuf era pertengahan secara umum menggolongkan seluruh prinsip – prinsip akhlak bersama – sama di bawah judul “hukum abadi” yang juga sering mereka lihat sebagai objek spiritual. Namun filsuf masa ke – 17 dari Inggris, Samuel Clarke (1675 – 1729), menggambarkannya sabgai korelasi spiritual dibandingkan objek spiritual. Walaupun demikian, pada keduanya mereka muncul dalam dunia spiritual. Pendekatan “dari dunia lain” yang berlawanan terhadap status metafisika moralitas yaitu perintah wahyu yang berasal dari ketentuan Tuhan. Pendekatan yang kadang – kadang disebut voluntarisme ini terinspirasi dari ajaran bahwa Tuhan yang Maka Kuas menertibkan semuanya. Tuhan cuma mengatakan jadi, maka jadilah. Dia yang memilih dunia fisik menjadi ada. Dia memilih segala nilai – nilai sopan santun menjadi ada. Pendukung persepsi ini, mirip filsuf era pertengahan William Ockham (1288 – 1349), percaya bahwa Tuhan menentukan prinsip – prinsip susila, seperti “membunuh itu salah”, dan hal ini timbul dari fikiran Tuhan sabagai perintah. Tuhan menunjukkan perintah ini lewat ikatan kita dengan institusi etika dan mewahyukannya dalam bentuk kitab suci.
Pendekatan kedua status metafisika moralistas yang lebih bersifat “dari dunia ini” mengikuti tradisi filsafat skeptic, mirip yang dinyatakan oleh filsuf Yunani Sextus Empiricus (kurun ke -3 M), yang menolak status objektif dari nilai – nilai susila. Secara teknis, penganut pandangan skeptis ini tidak menolak nilai – nilai adab itu sendiri, tetapi cuma menolak bahwa nilai – nilai ini timbul dalam bentuk objek spiritual atau sebagai perintah suci dari pikiran Tuhan. Nilai – nilai watak, berdasarkan mereka, adalah benar – benar penemuan manusia, balasannya posisi ini disebut relativisme tabiat.
Terdapat dua bentuk dari relativisme adab. Pertama relativisme individual, yang meyakini bahwa orang secara individual menghasilan standar sopan santun mereka sendiri. Fredrich Nietzsche (1844 – 1900), contohnya, menyatakan bahwa manusia super mampu menciptakan moralitasnya sendiri yang berlainan seabgai reaksi kepada system nilai seperti perbudakan yang berasal dari masyarakat lazim. Pendekatan kedua yaitu relativisme cultural yang menjaga bahwa moralitas berdasar pada persetujuan penduduk , dan bukan merupakan preferensi dari orang secara individual. Pandangan ini dikemukakan oleh Sextus Empiritcus, dan pada kurun yang terkemudian oleh Michel Montaigne (1533 – 1592) dan William Gradam Summer (1840 – 1910). Seabgai perhiasan pernyataan skeptisisme dan relativisme mereka, pendekatan status metafisika “dari dunia ini” menolak abjad mutlak dan universal dari moralitas dan alih – alih menyakini bahwa nilai – nilai budpekerti pada faktanya berganti dari satu masyarakat ke penduduk lain sepanjang kurun di seluruh dunia. mereka acap kali berupaya untuk menjaga posisi mereka dengan mengutip pola nilai – nilai yang secara menonjol berlawanan dari satu budaya ke budaya lain, seperti sikap kepada poligami, homoseksualitas dan pengorbanan manusia.
Sumber: Kode Etik Psikolog & Ilmuwan Psikologi. Aliah B. Purwakania Hasan (Hal 80 -83)