Kebutuhan Dan Layanan Pendidikan Untuk Tunanetra

tunanetra pada dasarnya memerlukan suatu pendidikan untuk membuatkan segala peluangyang ada dalam dirinya secara maksimal. Meskipun dengan segala keterbatasa indra pada dirinya, khususnya pada indra penglihatannya, anak tunanetra memerlukan latihan khusus yang mencakup latihan membaca dan menulis abjad braille, penggunaan tongkat, orientasi dan mobilitas, serta melakukan latihan visual atau fungsional pada penglihatan; 

2. Layanan pendidikan bagi anak tunanetra dapat dilaksanakan melalui tata cara segregasi, ialah suatu sistem yang secara terpisah dari anak yang masih memiliki pandangan yang masih bagus (tidak mempunyai kecacatan) dan integrasi atau terpadu dengan wajar di sekolah-sekolah lazim lainnya. Tempat pendidikan dengan metode segregasi meliputi sekolah khusus (SLB-A), SDL-B, dan kelas jauh. Bentuk-bentuk keterpaduan tersebut yang mampu dibarengi oleh belum dewasa tunanetra, yakni lewat tata cara integrasi yang mencakup kelas biasa dengan adanya seorang guru konsultan, kelas lazimdengan seorang guru kunjung, serta kelas biasa dengan guru-guru sumber dan kelas khusus; 

3. Strategi proses pembelajaran untuk belum dewasa penyandang tunanetra pada dasarnya memiliki kesamaan dengan strategi pembelajaran anak-anak pada umumnya, anya saja, ketika dalam pelaksanaannya memerlukan pembelajaran tersebut, yang dalam hal ini adalah anak tunanetra sehingga pesan atau materi yang disampaikan mampu diterima ataupun mampu ditangkap dengan baik dan mudah oleh bawah umur tunanetra tersebut dengan menggunakan semua metode indranya yang masih berfungsi dengan baik sebagai sumber pemberi isu; dan 

4. Dalam sebuah pembelajaran untuk belum dewasa tunanetra tersebut, terdapat beberapa prinsip yang mesti untuk diamati antara lain: 

a. Prinsip Individual 

Prinsip Individual dalam prinsip pembelajaran untuk anak tunanetra ialah prinsip biasa dalam pembelajaran mana pun. Dalam hal ini guru dituntut untuk mampu memerhatikan secara rincian segala perbedaan-perbedaan dalam setiap individu tersebut. Dalam pendidikan untuk anak-anak tunarungu, perbedaan-perbedaan umum tersebut menjadi lebih luas dan rumit. Selain perbedaan-perbedaan biasa , mirip usia, kesanggupan mental, fisik, kesehatan, sosial, dan budaya pada bawah umur tunanetra tersebut mempunyai perbedaan khusus yang terkait dengan ketunanetraan tersebut (mirip tingkat ketunanetraan tersebut, karena-alasannya ketunanetraannya, dan lain-lainnya). Oleh sebab itu, harus ada perbedaan layanan pendidikan antara anak Low vision dan anak-anak buta lokal yang lain. Prinsip layanan individu tersebut jauh lebih mengisyaratkan pada perlunya seorang guru untuk mendesain strategi dan tata cara pembelajaran yang sesuai dengan kondisi si anak tersebut. Inilah yang menjadi dasar adanya pendidikan yang dijalankan secara individu supaya tidak ada terjadinya ketimpangan sosial antara anak penderita tunanetra yang satu dan lainnya yang mempunyai tingkatan keparahan dan penyebab berbeda pula. Peran guru di sini memang menjadi salah satu hal utama dan pokok dalam sistem pembelajaran ini dan menjaga agar belum dewasa tersebut tidak mencicipi kerendahan dirinya yang jusru bawah umur tersebut idak merasakan kerendahan dirinya yang justru akan menghambat kelancaran anak-anak tersebut dalam belajara. Guru dalam tata cara ini diperlukan mampu berperan aktif dalam pendekatan individual tersebut dengan strategi-strategi barunya untuk mendekatakan diri secara personal terhadap anak penyandang tunanetra dengan lebih intim lagi agar mampu melihat segala perbedaan yang ada dan mampu merespon secara tepat. 

b. Prinsip Pengalaman Pengindraan 

Strategi pembelajaran yang dipakai oleh guru untuk belum dewasa penyandang tunanetra harus memungkinkan anak tunanetra tersebut untuk mendapatkan pengalaman secara nyata dari apa yang dipelajari. Dalam bahasa Bower (1986), disebut sebagai “pengalaman pengindraan eksklusif “. Anak tunanetra tidak dapat berguru melalui pengamatan visual yang mempunyai dimensi jarak, mirip pada contoh bunga yang sedang mekar, embun yang menetas dari dedaunan, pesawat yang sedang terbang atau seekor semut yang sedang mengangkut masakan. Strategi pembelajaran harus memungkinkan adanya susukan eksklusif terhadap objek atau suasana. Anak tunanetra harus dibimbing untuk dapat meraba, mendengar, mencium, mengecap, mengalami situasi secara pribadi, dan juga melihat bagi anak low vision. Prinsip ini sungguh dekat kaitannya dengan unsur alat/media dan lingkungan pembelajaran. Untuk memenuhi prinsip pengalaman pengindraan, perlu tersedia alat atau media pembelajaran yang mendukung dan berhubungan . Oleh karena itu, anak tunarungu ini harus mampu mencicipi secara eksklusif apa yang terjadi di lingkungannya, seperti pada proses mengolah makanan, menanam bunga, ataupun pada proses lainnya yang tidak membutuhkan adanya dimensi jarak dan waktu, namun pada proses yang melakukan penggunaan pengalaman pengindraan secara pribadi. 

c. Prinsip Totalitas 

Strategi pembelajaran ini dlakukan oleh seorang guru untuk mampu memungkinkan seorang siswanya untuk mempunyai pengalaman objek secara eksklusif maupun pada situai yang terjadi secara utuh. Dalam seni manajemen ini dapat terwujud apabila sang guru dapat mendorong anak tersebut untuk mampu melibatkan semua pengalaman pengindraanya secara terpadu dalam mengerti suatu konsep. Gagasan ini juga sering disebut juga dengan multi sensory approach dalam bahasa Bower (1986), yang artinya memakai seluruh alat pengindraan tersebut yang masih mempunyai fungsi yang masih baik untuk mengetahui objek secara menyeluruh untuk dapat mengetahui dengan baik dan mendapatkan citra secara utuh seperti apa yang ada dalam dimensi yang sebenarnya. Misalnya saja seorang anak tunanetra yang ingin mengetahui entuk burung. Maka, seorang anak yang mempunyai kekurangan dalam hal indra penglihatan tersebut harus mampu melibatkan keselutuhan indra yang masih berfungsi untuk dapat memberikan gosip yang utuh dan baik perihal bentuk, ukuran, sifat permukaan, dan kehangatan dari burung tersebut. Anak penyandang tunanetra tersebut juga mesti dapat mengenali suara yang menjadi ciri khas burung tersebut. Pengalaman pengenalan anak kepada burung tersebut anak menjadi lebih luas dan menyeluruh ketimbang belum dewasa yang cuma menggunakan satu indra dalam mengetahui dan mengamati burung tersebut. Itulah yang menjadi nilai tambah yang akan dimiliki oleh anak-anak yang mempunyai kebutuhan khusus dalam hal gangguan penglihatan. Hilangnya sebuah pandangan pada salah satu dari kelima indranya, dapat menciptakan bawah umur tunanetra menjadi susah menerima gambaran secara positif dan menyeluruh tentang objek-objek yang tidak dapat diperhatikan secara berbarengan oleh kelima indranya. Maka dari itu, perpaduan beberapa teknik dalam penggunaannya menjadi penting untuk anak tunanetra tersebut. 

d. Prinsip Aktivitas Mandiri (Selfactivity

Dalam Sebuah taktik pembelajaran haruslah mampu memungkinkan anak atau dapat mendorong anak tunanetra dalam belajar secara aktif dan mampu berdiri diatas kaki sendiri. Anak mampu mencar ilmu dan memperoleh sesuatu yang ingin untuk mereka pelajari. Sedangkan, guru bertugas selaku fasilitator yang mampu menolong bawah umur untuk berguru dan menimbulkan selaku motivator bawah umur penyandang tunanetra yang dapat menghidupkan keinginannya untuk tetap bertahan meski dalam setiap keterbatasannya. Prinsip ini juga memperlihatkan bahwa dalam prosess berguru itu tidak cuma sekedar mendengar dan mencatat saja, namun juga ikut merasakan dan mengalaminya secara langsung. Keharusan ini memiliki implikasi yang anggun terhadap perlunya si anak untuk dapat mengetahui, menguasai, dan menjalani proses dalam menemukan fakta atau desain yang baik. Dalam hal isi pembelajaran, sangat penting untuk bawah umur tersebut. Akan namun, akan lebih penting lagi jika anak tersebut mampu menguasai dan mengalami secara personal dan eksklusif untuk mendapatkan isi pembelajaran dengan cara mengalami dan mengenal suatu objek secara langsung mampu menolong anak untuk mampu mengenali apa yang selama ini belum dewasa nomal yang lain alami. 

Menurut fungsinya, suatu metode pembelajaran tersebut dapat dibedakan menjadi beberapa media, yaitu media untuk menerangkan desain yang berupa alat peraga dan media untuk membantu kelancaran proses pembelajaran yang berbentukalat untuk proses pembelajaran. 
  • Alat bantu yang bisa digunakan untuk membantu proses sebuah pembelajaran anak tunanetra meliputi objek atau situasi yang bergotong-royong dengan cara prinsip totalitas atau situasi yang sebetulnya, benda asli yang telah diawetkan, tiruan/versi (tiga dan dua dimensi); dan 
  • Alat bantu pembelajaran antara lain alat bantu untuk menulis abjad braille (reglet, pen, dan mesin ketik braille), alat bantu untuk menolong dalam membaca karakter braille (papan huruf dan optacon), alat bantu untuk berhitung (cubaritma, abacus/sempoa, speech calculator), serta alat bantu yang bersifat audio, seperti tape recorder

Evaluai kepada pencapaian hasil belajar pada anak tunanetra pada dasarnya sama dengan yang dilaksanakan kepada anak yang mempunyai mata wajar , tetapi ada sedikit perbedaan yang menyangkut materi tes/soal dan teknik pelaksanaan tes. Materi tes atau pertanyaan yang diajukan kepada anak tunanetra tidak mengandung komponen—unsur yang memerlukan pandangan visual apabila memakai tes tertulis, soal hendaknya diberikan dalam aksara braille atau menggunakan reader (pembaca) bila menggunakan abjad alfabet wajar yang biasanya dipakai oleh anak-anak bermata normal. 









Sumber: Smart A. (2010). Anak cacat bukan akhir zaman: tata cara pembelajaran & terapi untuk anak berkebutuhan khusus. Yogyakarta: Katahati. (Hal 82-89)
LihatTutupKomentar