Keluarga Sebagai Biro Sosialisasi Gender

Sebagaimana bentuk-bentuk sosialisasi lainnya, maka sosialisasi gender pun berawal pada keluarga. Keluargalah yang mula-mulai mengajarkan seorang anak laki-laki menganut sifat maskulin, dan seorang anak wanita untuk menganut sifat feminism. Melalui proses pembelajaran gender (gender learning), adalah proses pembelajaran femininitas dan maskulinitas yang bertanggung semenjak dini, seorang mempelajari peran gender (gender role) yang oleh penduduk dianggap sesuai dengan jenis kelaminnya.

Proses sosialisasi ke dalam peran perempuan dan laki-laki sudah berawal semenjak seorang bayi dilahirkan. Sejak lahir, bayi perempuan sering telah diberi busana yang jenis dan warna busana yang dikenakan bayi laki-laki, dan perbedaan jenis pakaian dan warnanya makin menonjol manakala usia mereka bertambah. Perilaku yang diterima pun bernafsu ketimbang bayi perempuan. Korner mengemukakan, contohnya, bahwa dalam banyak sekali masyarakat Barat bayi perempuan cenderung dimuat dan ditimang-timang dengan lebih hati-hati dan lebih cepat ditolong di kurun menangi dibandingkan dengan bayi pria (lihat, antara lain, Korner, dalama Laswell dan Lasswell, 1987). Dalam berkomunikasi ekspresi dengan seorang bayi sang ibu, bapak, saudara lain maupun orang dewasa sering memperlakukan bayi perempuan secara berbeda dengan bayi laki-laki. Bayi laki-laki, misalnya, diberi julukan maskulin seperti tampan dan gagah, sedangkan bayi wanita diberi feminism mirip anggun atau cantik.

Salah satu media yang dipakai orang bau tanah untuk memperkuat identitas gender adalah mainan, yakni dengan memakai mainan berlawanan untuk tiap jenis kelamin (sex-differentiated toys atau gender-typed toys. Lihat Giddens, 1989 dan Moore dan Sinclair, 1995). Meskipun di saat masih bayi seorang anak diberi mainan berbentukboneka, tetapi boneka yang diberikan terhadap bayi pria condong berlawanan dengan boneka yang diberikan terhadap bayi perempuan. Kalau bayi perempuan diberi boneka yang menggambarkan seorang wanita cantik ataupun seekor hewan halus seperti kelinci dan belibis, maka bayi pria diberi boneka yang menggambarkan seorang pria gagah atau seekor hewan buas mirip harimau dan beruang. Dengan makin meningkatyan usia anak, jenis mainan yang diberikan pun makin mengarah ke peanan gender. Anak wanita diberi mainan yang berbentuk peralatan rumah tangga seperti perlengkapan memasak dan menjahit, sedangkan anak laki=laki diberi mainan yang berbentuk kendaraan bermotor, alat berat, alat pertukangan atau senjata.

Buku kisah kanak=kanak merupakan media lain untuk melaksanakan sosialisasi gender. Selain menggarisbawahi tugas gender, buku-buku demikian sering menonjolkan tokoh laii-laki yang sarat ambisi, sedangkan wanita yang berstatus selaku gadis, istri ataupun ibu diberi tugas selaku tokoh pembantu yang lebih besar lengan berkuasa. Dalam banyak sekali cerita kanak-kanak perempuan diberi tugas antagonis, mirip ratu ataupun ibu tiri yang jahat, atau selaku nenek sihir.

Kesadaran akan adanya sosialisasi gender melalui pola asur anak ini sudah mengakibatkan keinginan untuk pertanda acuan ajar yang tidak berifat seksis (yang oleh Giddens disebut non sexist child rearing). Namun dalam praktik terbukti bahwa ilham seperti ini tidak mudah dilakukan.







Sumber: Sunarto K. (2004) Pengantar sosiologi. (Rev. ed.). Jakarta: Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia. (Hal 111).
LihatTutupKomentar