- Keanekaragaman pengaruh perkembangan yang bersifat negative menimbulkan resiko bertambah besarnya kemungkinan munculnya kesulitan dalam pembiasaan diri pada anak – anak tunadaksa. Hal ini berkaitan akrab dengan perlakuan masyarakat kepada anak – anak tunadaksa. Hal ini berkaitan dekat dengan perlakuan penduduk terhadap anak – anak tunadaksa. Sebenarnya kondisi sosial yang konkret menawarkan kecenderungan untuk menetralisasi akhir keadaan tunadaksa tersebut. Nampak atau tidak nampaknya kondisi tunadaksa itu ialah aspek yang penting dalam penyesuaian diri anak tunadaksa itu ialah faktor yang penting dalam adaptasi diri anak tunadaksa dengan lingkungannya, alasannya adalah hal itu sangat berpengaruh terhadap sikap dan perlakuan anak – anak normal kepada anak – anak tunadaksa. Keadaan tunadaksa yang tidak Nampak, lebih memungkinkan anak untuk menyesuaikan diri dengan wajar dibandingkan kalau ketunadaksaan tersebut Nampak.
Sikap orang renta, keluarga, sobat sebaya, sahabat sekolah, dan penduduk pada umumnya sangat besar lengan berkuasa kepada pembentukan desain diri anak tunadaksa. Dengan demikian akan mensugesti tanggapanselaku terhadap lingkungannya. Sebagaimana dimaklumi bahwa desain diri seseorang dipengaruhi oleh lingkungannya. Seseorang akan menghargai dirinya sendiri apabila lingkungan pun menhargainya, misalnya: seorang anak yang dianggap oleh masyarakat tidak berdaya akan merasa bahwa dirinya tidak berkhasiat.
Ejekan dan gangguan anak – anak wajar terhadap anak tunadaksa akan menimbulkan kepekaan efektif pada anak tunadaksa yang tidak jarang mengakibatkan timbulnya perasaan negative pada diri mereka kepada lingkungan sosialnya. Keadaan ini mengakibatkan hambatan pergaulan social anak tunadaksa.
Di jaman yang telah maju seperti sekarang ini, keberhasilan seseorang sering diukur dari prestasinya, dan di dalam masyarakat diketahui norma tertentu bagi prestasi individu. Keterbatasan kemampuan anak tunadaksa kerap kali menyebabkan mereka menarik diri dari pergaulan penduduk yang mempunyai prestasi yang jauh di luar jangkauannya.
Secara biasa anak – anak wajar memperlihatkan sikap yang berlawanan terhadap anak – anak tunadaksa kalau daripada sikap mereka kepada anak – anak normal. Demikian pula halnya sikap guru. Perbedaan perlakuan ini nampaknya berkaitan dengan refrence group yang berlawanan antara anak wajar dan anak tunadaksa.
Selain itu faktor usia juga ialah hal yang penting bagi pertumbuhan social anak. Anak – anak tunadaksa dari sekolah dasar merasa tidak begitu ditolak ketimbang anak – anak tunadaksa pada sekolah yang lebih tinggi. Semakin tinggi usia seseorang, perasaan ditolak akan kian terasa.
Anak – anak tunadaksa kadang kala tidak mampu berpartisipasi secara sarat dalam aktivitas anak – anak seusianya, khususnya dalam golongan social yang sifatnya lebih resmi. Anak – anak mirip ini terutama mereka yang alasannya bergaul dengan teman – sahabat sebayanya yang tidak tuna. Apabila mereka terlalu lama harus beristirahat di dalam rumah, maka anak ini akan mengalami deprivasi dan isolasi dari teman – sobat sekolahnya. Ketika mereka kembali ke sekolah, mereka merasakan kecemasan terhadap cara teman – teman dalam memperlakukan mereka, mendapatkan dan berintegrasi dengan mereka.
Sumber: Psikologi Anak Luar Biasa. Dra. Hj. T. Sutjihati Somantri, Mpsi., psi. (Hal 132 – 133)