- Pada umumnya di budaya Barat perilaku sosial mirip konformitas, kepatuhan, dan Obidience mempunyai konotasi negative. Sebab hal itu lazimnya membentuk sebuah image (kesan) seseorang itu ibarat robot dan mesin otomatis yang kehilangan individualitas.
Conformity mengacu pada pembiasaan orang pada teknana social yang positif atau yang dibayangkan. Compliance pada umumnya didefinisikan sebagai penyesuaian orang kepada tekanan social dalam sikap publik mereka, bahkan walaupun kepercayaan – doktrin eksklusif mereka mungkin tak berganti. Obidience adalah bentuk compliance yang terjadi ketika orang mengikuti perintah eksklusif, umumnya dari seseorang yang mempunyai otoritas.
Studi – studi tentang konformitas, compliance dan obedience yang paling diketahui dlam psikologi social selama ini ialah studi yang dilaksanakan oleh Asch dan Milgram. Berdasar eksperimen – eksperimen yang dilakukannya (1951, 1955, 1956), Asch memperoleh bahwa compliance ialah hasil dari tekanan yang tak kentara atau tak eksklusif. Tetapi dalam dunia positif , compliance dapat terjadi dalam respons seseorang terhadap aturan – aturan eksplisit, ajakan atau tutntutan, dan perintah – perintah. Hal ini telah dibuktikan laboratorium eksperimen. Hasilnya memperlihatkan 65% subyek mematuhi komando eksperimenter untuk menyanggupi hukuman pada parternya yang menawarkan tanggapan salah pada dalam proses berguru.
Untuk membandingkan bagaimana conformity, compliance, dan obedience secara lintas budaya, maka telah itu harus memusatkan perhatian pada nilai konformitas dan kepatuhan itu sebagai konstruk social yang berakar pada budaya. Misalnya budaya Amerika menekankan individualitas dan menyingkir dari pengelompokan dan konformitas.menjadi konformis dalam budaya ini dianggap sesuatu yang jelek. Tetapi budaya – budaya lain mungkin memiliki persepsi kasatmata tentang hal itu. Beberapa studi dengan memakai latar budaya Asia menganggap positif perihal nilai konformitas dan kepatuhan, bahkan mereka akan berusaha semoga perilakunya dapat conform dan patuh.
Studi yang dilaksanakan Hadiyono dan Hahn (1985) memberikan bahwa orang Indoneisa mendukung konformitas lebih tinggi ketimbang orang Amerika. Argyle, Henderson, Bond, Lizuka, dan Contarello (1986) memperlihatkan bahwa orang Jepang dan Cina Hongkong lebih mendukung kepatuhan (Obidience) dibandingkan dengan orang Italia dan Inggris. Buck, Newon dan Muramatsu (1984) menawarkan bahwa orang Jepang lebih conform ketimbang orang Amerika. Penilaian konformitas dan kepatuhan tidak terbtas untuk budaya – budaya Asia. Cashmore dan Goodnow (1986) menawarkan bahwa orang italia lebih conform daripada orang Inggris dan Australia.
Studi – studi lintas budaya memberikan bahwa nilai pengasuhan anak menguatkan nilai – nilai konformitas dan kepatuhan ni dalam proses sosioalisasi dan selaku hasil enkulturasi. Tidak hanya orang Asia namun juga subjek Puerto Rico menilai konformitas dan kepatuhan sebagai nilai – nilai pengasuhan anak (Burgus & Dias – Perez; Stropes – Roe& Cochrane, 1990). Jai dalam budaya kolektif, konformitas dan kepatuhan tidak hanya dipandang “baik” tetapi sungguh diharapkan untuk dapat berfungsi secara baik dalam kelompoknya, dan untuk mampu sukses menjalani hubungan interpersonal bahkan untuk mampu menikmati satus yang lebih tinggi dan menerima penilaian atau kesan konkret
Sumber: PSIKOLOGI LINTAS BUDAYA. EdisiRevisi. TriaDayakisni. SalisYuniardi (125 – 126)