Perilaku Kooperatif, Kompetitif Dan Negosiasi Secara Lintas Budaya

lintas budaya ada umumnya menawarkan bahwa anak – anak Amerika lebih tidak kooperatif ketimbang anak – anak Asia . bahkan Betlehem (1975) memperoleh bahwa pembaratan (westernisasi) akan memajukan persaingan hasil penelitian Cox , Lobel dan McLeod (1991) juga memperoleh bahwa pelajaran Inggris lebih kompetitif ketimbang orang Amerika keturunan Spanyol, Kulit hitam dan Asia.

Usaha untuk mengerti negosiasi secara lebih sistematis dalam budaya – budaya yang berbeda menuntut kita untuk lebih mengacu pada konsep individualisme dan kolektivitsme. Ssuatu yang dibutuhkan dalam budaya individualism, negosiastor sebaiknya melihat cara negosiator selaku prioritas utama mencapai janji atau persetujuan yang fundamental paa permintaan – tuntutan yang logis dari tugas yang teratasi pada waktu itu. Sebaliknya dalam budaya koletif negosiasi dititikberatkan pada kelanjutan harmoni seterusnya dalam relasi mereka dengan kalangan lain. Hal ini bukan bermakna orang – orang ari budaya kolektif akan lebih baik hati degan pihak lain yang diajak bernegosiasi. Kita sudah menyaksikan sebelumnya bahwa ada kemungkinan mereka yang mempunyai nilai interdependensi akan sama – saa kompetitif sebagaimana mereka yang memiliki nilai independen saat berhadapan dengan anggota – anggota out – group. Studi yang dijalankan oleh Leung dan Bond(1984) memperoleh bahwa walaupun orang – orang Cina cenderung mengobankan perolehanpribadi mereka untuk menolong anggota – anggota dalam kalangan mereka dan sedikit lebih menawarkan perilaku bertikai/bertengkar dengan anggota – anggota in – group, tetapi mereka lebih memperlihatkan perilaku bertikai/berantem dengan anggota – anggota out – group, dibandingkan orang – orang Amerika. Sementara orang – orang Amerika memperlihatkan sikap tak berlawanan dalam in – group maupun out – group. Studi selanjutnya yang dijalankan Chan , Triandis, Carnavela, Tam, dan Bond (1997) juga mnunjukkan bahwa masyarakat yang orientasinya kolektif lebih sensitive terhadap bentuk relasi atau dengan orang siapa mereka bernegosiasi, dimana subjek Hongkong menawarkan kerjasama yang lebih besar dengan sobat sendiri dan kurang koordinasi dengan orang ajaib dibandingkan subjek Amerika.

Penelitian selesai – tamat ini oleh Probst dan Triandis (2000) dengan menggunakan permainan dilemma social (suatu situasi dimana orang – orang saling bergantung dan menghadapi sebuah opsi diantara minat kerjasama dan minat tak kerjasama/kompetitif), mendapatkan bahwa penduduk yang memiliki orientasi nilai vertical collective memberikan sikap paling kooperatif dalam suasana dilema antar golongan- dimana kerugian kelompok lain menyebabkan hasil kelompoknya sendiri optimal. Sementara masyarakat yang orientasi nilainya vertical individualistic menawarkan perilaku paling tidak kooperatif dalam suasana persoalan kelompok tunggal, namun lebih kooperatif dalam suasana problem antar golongan – dimana kerjasama dengan golongan memaksimalkan hasil pribadi.

Demikian pula dalam budaya kolektif, orang akan lebih menggemari metode negosiasi yang dapat memelihara keserasian korelasi itu. Sehingga, misalnya mereka mungkin menggemari komunikasi tidak langsung atau menggunakan penengah (mediasi) daripada memakai argumentasi terbuka atau prosedur melawan.

Poret (1970) membandingkan versi bargaining pada orang Inggris, Swedia, Demark, Switzerland dan Spanyol dan menemukan bahwa metode adversarial lebih dipakai oleh orang inggris dan Swedia. Sementara orang Spanyol jarang memakai sistem ini, Cummings (1980) memperoleh bahwa pembeli dari orang – orang yang mempunyai budaya kolektif mirip Thailand dan Jepang lebih condong membagi keuntungan setara diantara pembeli dan penjual, karena mereka mengharapkan yang lebih usang dengan penjualnya.




Sumber: PSIKOLOGI LINTAS BUDAYA. EdisiRevisi. TriaDayakisni. SalisYuniardi (Hal 126)
LihatTutupKomentar