- Penelitian lintas budaya antar bangsa pada pembelajaran matematika di sekolah ialah lewat studi komparatif. Studi paling awal misalnya yang dijalankan oleh International Association fot the Evaluation of Education Achievement (IEA) (Husen, 1967) mengukur skor prestasi matematika di 12 negara pada tingkat 8 dan 12 tahun. Studi berikutnya membandingkan 17 negara. Penemuan yang cukup mengejutkan ialah prestasi yang kurang baik dari pelajar Amerika daripada Negara – Negara lain terutama jepang.
Sejak studi – studi ini banyak usaha dipusatkan pada pencarian akar perbedaan dalam kemampuan matematika ini melalui program – program observasi dari Harold Stevenson dan James Stigler. Beberapa studi mereka menfokuskan perbandingan antara pelajar – pelajar sekolah dasar Amerika, Jepang dan Cina (Taiwan) dan memusatkan perhatian pada penyelidikan wacana bagaimana matematika diajarkan di dalam kelas dan system sekolah yang mungkin mendasari perbedaan – perbedaan ini.
Temuan – temuan pada tiga topic menyatakan korelasi yang luas dan kompleks antara budaya dan pendidikan. Bahkan pada murid – murid kelas satu, keunggunlan Jepang dan Cina dalam prestasi matematika telah sangat menonjol dan mencapai puncaknya pada murid kelas lima (Stevenson, Lee & Stigler, 1986; Stigler dan & Baraness, 1986). Prestasi yang buruk pada pelajar Amerika juga didapatkan dalam perbandingan dengan anak – anak Korea (Song & Ginzburg, 1987). Apalagi, perbedaan itu tidak hanya dalam tes berhitung namun juga dalam semua tes matematika yang disusun dan diselenggarakan oleh para peneliti.
Stigler, dkk. Kemudian mengusut di ruang – ruang kelas untuk menemukan kemungkinan – kemungkinan penyebab dari perbedaan itu. Beberapa perbedaan utama dalam memakai waktu di ruang kelas. Pejalar Cina dan Jepang mnghabiskan lebih banyak hari – harinya tiap tahun di sekolah, lebih banyak jam tiap harinya di sekolah, dan proporsi waktu yang lebih besar di sekolah dicurahkan untuk matematika. Guru – guru Jepang dan Cina menghabiskan proporsi waktu bekerja yang lebih besar dengan keseluruhan kelas daripada yang dilaksanakan guru – guru Amerika. Perbedaan ini bahkan lebih dramatis ketika kita membandingkan rata – rata ukuran kelas yang lebih kecil daripada di Cina dan Jepang. Sehingga murid – murid Amerika menghabiskan sedikit waktu berguru di bawah panduan dan supervise dari seorang guru.
Selama di kelas, juga mampu diamati bahwa guru – guru di Amerika cenderung memakai pujian untuk member penghargaan pada tanggapan – balasan yang benar. Guru – guru di Jepang condong lebih memusatkan perhatian pada tanggapan – tanggapan yang salah, menggunakan hal ini sebagai pola untuk mengarahkan ke dalam diskusi perihal proses penghitungan dan rancangan – rancangan matematika. Guru – guru Taiwan condong memakai proses yang serupa dengan pendekatan guru – guru Jepang. Perbedaan proses pengajaran ini merefleksikan titik berat pada budaya di Amerika menyangkut penghargaan pada keunikan dan individualism dan titik berat di Jepang dan Cina pada penemuan cara – cara untuk mengorganisir proses golongan dan membagi tanggung jawab atas kesalahan dengan anggota – anggota dari golongan itu. Pujian walaupun baik namun bagi mereka hal ini akan menghalangi diskusi.
Akhirnya sejumlah perbedaan penting dalam nilai – nilai budaya dan system dogma diantara orang – orang Amerika, Jepang dan Cina didapatkan mempunyai balasan pada pendidikan. Misalnya para orang bau tanah dan guru di Jepang dan Cina lebih mungkin untuk memikirkan bahwa semua anak ialah sama, dengan tidak ada perbedaan diantara mereka. Para orangtua dan guru di Amerika lebih mungkin untuk mengakui adanya perbedaan – perbedaan dan mendapatkan argumentasi untuk memperlakukan anak – anak mereka secara khusus. Perbedaan ini sungguh terperinci berakar dalam ketegangan budaya antara individualism dan kolektivisme di antara ketiga budaya ini.
Para orang bau tanah dan guru Amerika lebih mungkin untuk mempertimbangkan kemampuan dalam diri individu (Innate ability) lebih penting daripada usaha, bagi orang Jepang dan Cina, usaha jauh lebih penting ketimbang kemampuan. Perbedaan juga besar bagi pendidikan. Para orang renta Amerika cenderung lebih mudah puas pada tingkat kompetensi yang lebih rendah ketimbang Jepang dan Cina. Juga, saat muncul duduk perkara orang – orang Amerika lebih mungkin mengatribusikan penyebab duduk perkara itu pada sesuatu secara langsung berhubungan dengan perbedaan budaya dalam pembentukan self sebagaimana sudah dibahas dalam bab terdahulu.
Adanya iktikad bahwa abilitas (kemampuan) lebih penting dibandingkan dengan usaha (rffort)berarti menganggap bahwa masing – masing anak dibatasi oleh lingkup kemampuannya. Keyakinan ini menjadi budaya institusi yang memerintah bagaimana system pendidikan sebaiknya merespon hal ini. Akibatnya system pendidikan di Amerika menekankan pencarian keunikan, perbedaan bawaan diantara murid – muridnya dan memisahkan mereka ke dalam kelas – kelas yang khusus bagi kalangan murid yang mempunyai keunikan tersendiri serta kebanyakan mengindividualisasikan proses pendidikan. Sehingga lebih banyak waktu yang dicurahkan pada isyarat atau pengajaran secara individual dan sedikit waktu pada arahan atau pengajaran secara keseluruhan kelompok.
Sebaliknya Jepang lebih berhasil meningatkan mutu pendidikan warganya secara missal. Hal ini mampu dijelaskan berdasar tiga dimensi yang berakar pada budaya Jepang, adalah (1) struktur ganjaran, (2) penilaian kepada penampilan atau unjuk kerja, dan (3) taktik pengendalian dalam hubungan antar langsung (Halloway, 1988). Pendidikan Jepang – baik pendidikan dalam lingkungan keluarga maupun lingkungan sekolah – lebih menekankan kerjasama ketimbang persaingan. Karena itu, tidak banyak kesempatan untuk mengatribusikan alasannya – sebab keberhasilan maupun kegagalan pada factor kemampan,karenaatribusi pada kemampuan umumnya berkembang dalam situasi yangkompetitif. Penilaian kepada unjukkerja dan ganjaran yangmenjadi ikutannya jarang bersifat lazim dan terbuka, alasannya adalah pross pendidikan (khususnya tingkat Sekolah Dasar) dijalankan dalam kalangan – kalangan mencar ilmu kecil. Guru – guru Jepang berusaha keras untuk menjinjing keseluruhan kelas maju secara bersama – sama lewat materi yang diajarkan dan menghindari terjadinya golongan – kalangan hierarki berdasarkan kemamuan. Ada bukti – bukti yang menunjukkan bahwa guru – guru di Jepang enggan untuk emnilai siswanya sebagai langsung. Dengan perkataan lain, guru – guru Jepang berusaha untuk mengalihkan fokus stribusi kegagalan atau keberhasilan dari kemampuan kepada usaha. Dalam perjuangan untuk menanamkan keatuhan, ibu – ibu Jepang sedapat – dapatnya menghindari strategi pengendalian yang bersifat otoriter dengan maksud untuk mempertahankan relasi yang akrab dengan anak – anaknya. Mreka yakin bahwa ketidakpatuhan anak bersumber pada kurangnya pemahaman pada pihak anak, dan bukan karena penyimpangan. Sebaliknya ibu – ibu Amerika lebih besar kemungkinannya memakai otoritas dan kekuasaan dalam usahanya untk menanamkan disiplin keada anak – anaknya.
Orientasi dan atribusi pada factor usaha dalam penyelesaian tugas mendorong anak – anak Jepang berguru untuk mencapai penguasaan, bukan untuk mendapatkan kesan performa yang baik. Pendekatan ini ternyata telah memajukan prestasi berguru seperti tampakdari hasil – hasil studi banding tersebut di atas.
Sumber: PSIKOLOGI LINTAS BUDAYA. EdisiRevisi. TriaDayakisni. SalisYuniardi (Hal 91- 93).