- Etika kebajikan yang dipopulerkan oleh Aristoteles berfokus pada aksara yang menempel pada seseorang dibandingkan tindakan spesifik yang mesti dilakukan seseorang. Menurut penganut pandangan ini, moralitas tidak hanya menjawab “Apa yang harusnya aku lakukan?” tetapi juga harus menjawab “Saya harusnya menjadi orang mirip?”
Dalam hal ini, pertanyaan mengenai abjad insan merupakan sesuatu yang lebih penting.
Banyak filsuf percaya bahwa moralitas terdiri dari aneka macam hukum sikap yang terdefinisikan dengan terang yang mesti dibarengi seseorang, mirip jangan membunuh, jangan mencuri, dan lain – lain. Sebelumnya, seseorang mesti mempelajari hukum – aturan ini, dan kemudian menentukan bahwa segala tindakan saya dalam kehidupan mengikuti hukum ini. Namun, para teoris kebajikan, kurang menekankan pentingnya untuk memepelajari aturan – aturan yang mesti dipelajari, alih – alih lebih mementingkan pengembangan abjad akan kebiasaan baik, seperti bermurah hati. Sekali aku bersifat bermurah hati, contohnya, maka saya akan sudah biasa bertindak dengan murah hati.
Berdasarkan sejarah, teori kebajikan merupakan tradisi normative tertua di dunia filsafat barat, yang berakar pada peradaban antik Yunani, Plato (427 – 347 SM) menekankan pentingnya empat kebajikan khusus, yang kemudian disebutnya kebajikan utama (cardinal virtues), ialah: kebijaksanaan (wisdom), keberanian (courage), kesederhanaan (temperance) dan keadilan (justice). Nilai kebajikan lain yang penting juga meliputi keuletan, kedermawanan, harga diri, keteguhan, dan keikhlasan. Sebagai aksesori untuk mendapatkan kebiasaan terhadap aksara yang baik, penganut teori kebajikan menyatakan bahwa kita mesti menyingkir dari diri dari sifat karakter yang jelek, atau budbahasa dan keangkuhan. Teori kebajikan menekankan pentingnya pendidikan susila, karena sifat aksara kebajikan mesti dikembangkan selagi muda. Dengan demikian, orang sampaumur bertanggung jawab untuk mendidik kebajikan pada generasi muda.
Aristoteles (383 – 322 SM) memberikan kerangka yang lebih terang tentang teori kebajikan. Menurutnya, kebajikan ialah kebiasaan baik yang kita punyai, yang mengatur emosi kita. Misalnya, sebagai respon kepada rasa takut alamiah yang kita miliki, kita mesti mengembangkan nilai kebajikan dari keberanian yang menciptakan kita tetap handal ketika menghadapi bahaya. Dengan melaksanakan analisis kepada 11 nilai kebajikan khusus. Aristoteles menyetakan bahwa kebanyakan nilai kebajikan berada di tengah – tengah garis sifat karakter yang ekstrim. Sehubungan dengan keberanian, misalnya, jikalau kita tidak mempunyai keberanian yang cukup, maka sebagai jadinya kita berbagi kecenderungan kepengecutan yang merupakan budbahasa buruk. Sebaliknya jika kita terlalu berani, maka kita berbagi kecenderungan lalai yang juga ialah sopan santun buruk. Menurut Aristoteles, tidaklah mudah untuk menemukan garis tengah yang sempurna di antara sifat huruf yang ekstrim. Secara factual, kita membutuhkan derma penalaran dalam melakukannya.
Perhatian terhadap teori kebajikan terus berlangsung hingga era pertengahannya, dan terkurang pada abad kesembilan belas, dengan hadirnya berbagai teori alternative di bawah ini. Namun, pada periode kedua puluh, teori kebajikan menerima perhatian khusus dari filsuf yang percaya bahwa pendekatan teori etika dikala itu salah arah sebab terlalu menekankan pada serangkaian hukum dan langkah-langkah, dibandingkan sifat karakter kebajikan. Alasdaire Mecintyre (1929 - …..) menjaga peran sentra dari nilai – nilai kebajikan dalam teori fundamental yang berakar pada tradisi sosial. Berbagai teori akhlak kebajikan bangkit kembali setengah era terakhir ini, melalui karya – karya filsuf mirip G. E. M. Anscombe (1919 – 2001). Philippa Foot (1929 - ….), dan Rosalind Hursthouse (19.. - …..).
Sumber: Kode Etik Psikolog & Ilmuwan Psikologi. Aliah B. Purwakania Hasan (Hal 56 – 59)