Victor Frankl

Di Wina, Austia, pernah hidup seorang berjulukan Victor Frankl, yang eksistensinya ialah Perpaduan antara bencana dan kejayaan, kehancuran yang menyeluruh dan kemenangan sempurna. Oleh karena itu, mahasiswa psikologi perlu bersentuhan dengan pemikirannya. Hidup dan kesimpulan yang didapatkan dari pengalamannya sungguh bernilai – nilai alasannya mengajarkan kepada kita perihal hidup kita sendiri.

Dr. Victor E. Frankl ialah penulis buku Man’s Seach for Meaning (Frankl, 1959). Bagian pertama dari bukunya ini mengisahkan penderitaan penulisnya selama menjadi tawanan Yahudi di Auschwitz dan beberapa kamp konsentrasi Nazi lainnya. Kehidupannya selama tiga tahun di kamp tahanan adalah kehidupan yang mengerikan, sebab setiap saat beliau berhadapan dengan bahaya pembunuhan yang dikerjakan secara kejam. Kengerian yang berlangsung pada era ini sebetulnya sudah banyak diperharikan di banyak sekali berita media dan film. Namun, detail penuturan langsung dari Frankl, selain belum banyak dimengerti orang, juga sangat menjamah perasaan. Ia misalnya menggambarkan suatu peristiwa yang terjadi pada suatu malam di isu terkini hambar. Setelah kerja paksa sepanjang hari, sekelompok tawanan dipaksa berbaring di lantai mulai mengelupas. Dalam situasi demikian, Dr. Frankl, yang juga seorang korban seperti tawanan – tawanan yang lain, berbisik dengan bunyi pelan. Ucapannya ialah penegasan tentang arti kehidupan, yakni bahwa meskipun hidup dalam situasi tanpa pengharapan, keberadaan manusia tetap amat mempunyai arti “Dalam keadaan mirip ini sekalipun,” ucapnya, “meski kita tidak mungkin untuk melakukan pekerjaan dan mengisi kehidupan, dan meski kita tidak bisa menikmati keindahan alam semesta, sesungguhnya masih tersisa sesuatu yang bersumber makna pada keberadaan kita. Yang sama maksud tidak lain adalah sebuah tugas yang mahapenting, bahkan mungkin lebih penting dibandingkan peran yang telah kita emban sebelum kita berada di tempat ini, adalah tugas untuk memikul penderitaan ini dengan penuh keberanian dan harga diri.” Orang yang mampu mengatakan hal demikian, di tengah jurang pendeitaan yang tak berujung, pastinya yakni orang yang layak kita dengar perkataannya.

Saya ingin menunjukkan bahwa filsafat hidup dari Frankl berfaedah untuk memahami penyakin yang dialami oleh manusai yang tinggal di dunia barat era kini. Saya akan mulai dengan menduskusikan asal – undangan dari penyakit ini. Penyakit zaman terbaru memang tidak tampak senyata dan menakutkan mirip halnya di Auschwitz, namun kita mampu merasakan bahwa ada sesuatu yang keliru dengan cara hidup kita. Jika meelihat penyakit yang melanda manusia barat cukup umur ini, baik wanita maupun laki – laki, tampak bahwa filsafat hidup Dr. Frankl dapat digunakan untuk menjelaskannya.

Namun, untuk menghindari salah pemahaman, pertama – tama saya ingin menekankan bahwa ajaran Frankl selain merupakan suatu fatwa psikoterapi, juga ialah saut filsafat hidup. Merupakan filsafat hidup, alasannya pemikirannya menunjukkan interpretasi yang konsisten mengenai hidup, ajal, cinta, tanggung jawab dan berbagai faktor penting dalam hidup, fatwa Frankl juga merupakan suatu persepsi psikoterapi karena interpretasi filsafat tersebut memiliki nilai dapat menolong pemulihan individu – individu neurotic. Sebagia pendekatan psikoterapi, ajaran Frankl disebut Logoterapi (berasal dari kata Yunani, “Logo” yang berarti makna). Logoterapi ialah salah satu beberapa anutan psikoterapi yang bersumber dari premis eksistensial.

Sekarang saatnya saya menggambarkan keadaan yang merupakan campuran antara kelusuan dan kecemasan insan modern, sambil memberi persepsi singkat tentang factor penyeban kondisi yang sangat tidak tenteram tersebut.

Pada lazimnya klien psikoterapi pada awalnya kurun ke – 20, pergi mencari tunjangan pada hebat psikoterapi alasannya adalah suatu alasannya adalah yang mampu digambarkan dengan terperinci, mereka mengalami gangguan yang kasat mata. Misalnya kelumpuhan tungkai yang tidak mempunyai karena organik, atau menderita dorongan kompulsif untuk sellau mencucu tangan, atau tak kuasa menahan keinginan mengusut pintu untuk menentukan apakah pintu itu sudah terkunci atau belum. Akan namun, symptom neurotic kala sekarang sangantlah berbeda. Gangguan tidak cuma terjadi pada satu faktor eksistensi pasien neurotic itu. Ada sesuatu yang salah pada dirinya secara keseluruhan dan kekerabatan mereka dengan alam di luar dirinya terusik. Seakan – akan terdapat dinding kaca yang tak bisa ditembus antara dirinya dan dunianya. Dunia tidak menawan perhatiannya. Hambar. Ia tidak dapat mengikatkan diri, bahkan di tingkat yang dasar sekalipun, dengan dunia. Ia tidak tahu harus berbuat apa dalam hidup. Yang tersisa hanya ada rasa jemu dan hampa.

Hari demi hari, ahad demi ahad, atau seluruh hidup yang dijalani, mestinya merupakan sebuah dongeng beralur. Atau suatu alunan musih dengan awal yang lembut, yang kemudian mendaki sebuah crescendo hingga ke puncaknya, lalu berangsung – angsur menurun kembali. Akan tetapi, bagi sebagian orang hidup tidak bergelora demikian, melainkan sekadar rangkaian monoton peristiwa berulang yang tak mempunyai arti. Kenyataan ini bukan cuma terlihat dari kehidupan nyata sehari – hari, namun juga digambarkan oleh para pengarang yang menyuguhkan novel berisi rangkaian peristiwa yang tidak terorganisir, bukan novel dengan alur klasik.

Makin banyak anak muda, saat mesti memilih pekerjaan, tidak membutuhkan pilihannya. Pilih mana pun sama saja, alasannya mereka enggan menemukan makna dalam pekerjaannya. Hal yang sama dikala menentukan pasangan seksual. Asal mampu terpuaskan nafsu birahinya, individu mampu melaksanakan kekerabatan seksual dengan semua orang, tanpa landasan cinta, apa lagi religi.

Kondisi yang aku gambarkan di atas ialah sebuah ketiadaan makna, tujuan, arah dan ketiadaan keterlibatan. Lazim juga disebut kehampaan eksistensial. Barangkali mereka yang mengalami kehampaan eksistensial harus merasa iri pada penderitaan neurotic zaman Victoria di Eropa, alasannya penderita neurotic pada zaman itu masih bisa mengalihkan duduk perkara merek ke dalam dorongan kompulsif untuk mencuci tangan.

Wujud dari gangguan emosional memang telah berganti. Bukan cuma wujudnya, namun juga penyebabnya. Sekitar tahun 1900 – an, orang pada umumnya – berkulit putih, kelas menengah – mengaggap bahwa alam, bumi, masyarakat, keluarg, dan gereja masih ialah lembaga yang mempunyai arti dan konstruktif. Kaprikornus, bila ia gagal menyesuaikan diri dalam dunia tersebut, pasti ada sesautu yang salah dalam lingkungan utamanya. Kemudian psikoanalisis ( dan anutan yang terkait dengannya ) akan mengarahkan perhatian pada keluarga penderita neurotic, mirip cara mengasuh yang keliru atau kekerabatan yang tidak menggembirakan di antara anggota kelurganya.

Meski mengakui tugas memiliki peluang persoalan keluarga, pengamat gangguan emosional sekarang lebih mengarahkan perhatian pada penyebab lain. Mereka tidak menilai bahwa “semua berlangsung tepat,” kecuali pada mereka yang kalah lotere sehingga tidak mendapatkan harta karun dunia. Pengamat terbaru lebih mengarahkan perhatian pada factor yang menghinggapi seluruh insan atau seklelompok besar insan. Factor yang pertama berkenaan dengan “Kondisi manusia,” yaitu kondisi yang melekat pada seluruh manusai. Sementara itu, yang kedua ialah aspek khusus yang terdapat dalam masyarakat (“Kondisi masyarakat) yang menghalangi anggota penduduk untuk memenuhi tujuannya.





Sumber: ANALISIS EKSISTENSIAL. Sebuah Pendekatan Alternatif untuk Psikologi dan Psikiatri. Dr. Zainal Abidin, M.Si. (Hal 253 – 257)
LihatTutupKomentar