Budaya Dan Indigenous Personality

lintas budaya di atas menggambarkan suatu realita bahwa antar budaya yang berlainan sungguh mungkin secara mendasar memiliki persepsi yang berlainan mengenai apa tepatnya kepribadian itu. Suatu kenyataan yang merangsang perlunya kajian – kajian yang bersifat local yang mampu member klarifikasi mengenai kepribadian individu dari suatu budaya secara mendalam. Suatu kajian kepribadian yang bersifat local atau indigenous personality. Konseptualisasi perihal kepribadian yang dikembangkan dalam suatu budaya tertentu dan relevan cuma pada budaya tertentu tersebut.

Sebagai pola kajian indigenous personality adalah penelitian yang dijalankan Doi (1973) di Jepang. Doi memperoleh adanya Amae yang dikatakan sebagai inti konsep dari kepribadian orang – orang Jepang. Amae berakar dari kata “cantik”, dan secara perlahan dirujukkan sebagai sifat pasif, ketergantungan antar individu. Dipaparkan pula bahwa amae berakar pada hubungan antara bayi dengan ibunya. Menurut Doi, relationship seluruh orang Jepang dipengaruhi dan berkarakteristik amae, sebagaimana amae ini secara fundamental mensugesti budaya dan kepribadian secara bagian tak terpisah dari desain kekerabatan social.

Temuan Amae di atas memberikan adanya perbedaan rancangan kepribadian antara orang Jepang dengan orang Amerika. Para Psikolog Amerika memandang bahwa yang menjadi inti dari kepribadian ialah rancangan Ego, Ego disebut direktur kepribadian, alasannya adalah Ego mengontrol pintu – pintu kearah tindakan, menentukan sisi – sisi lingkungan kemana ia dan bagaimana cara (Freud dalam Hall, 1993). Sedangkan Erickson (Dalam Hall, 1993) member pelengkap bahwa Ego dalam menjalankan fungsinya memiliki kuasa mengendalikan proses – proses kognitif berupa pandangan, memori, dan berpikir. Tujuan paling penting dari Ego yaitu mempertahankan kehidupan individu dan memperhatikan bahwa spesies meningkat baik. Konsep yang memandang kepribadian selaku suatu yang bersifat otonom perorangan.

Di Indonesia sendiri kajian tentang indigenous personality telah diawali oleh Darmanto Jatman (1997). Dalam bukunya Psikologi Jawa, Jatman mendapatkan adanya profil kepribadian insan Jawa yang memandang jiwanya adalah sebagai rasa. Rasa ini terbagi atas tiga, ialah: rasa subyek, rasa obyek, dan rasa pertemuan subyek – obyek. Ketiganya dilahirkan oleh rasa ialah rasa hidup. Selanjutnya dalam proses perjalanannya, manusia Jawa menciptakan catatan – catatan dari pengalamannya bertemua dengan kenyataan – kenyataan. Catatan – catatan ini hidup, semakin banyak, makin beragam, mengelompokkandiri sesuai jenis – jenisnya dan pada jadinya menimbulkan rasa aku. Tampak disini selaku kepribadian bersifat konstekstual tanpa henti.

Konsep ini terlihat mirip dengan konsep India tentang Jiva (Paranjpe, Berry, 1999) yang terdiri dari lima lapis dimana lapisan terdalam yakni apa yang disebut Atman, sebuah asas eternal sebagai representasi Yang Esa. Konsep ii menyaksikan diri selaku rancangan mikro yakni tidak lepas dari rancangan makro ialah Sang Esa. Penguasaan dan pengendalian terhadap anggapan untuk membuat tertuju pada satu obyek, dengan pengalihkan indera dari obyek – obyek kenikmatan (badaniah) dan bertahan dalam penderitaan ialah satu – satunya jalan meraih diri terdalam. Sebuah rancangan yang bertolak dengan desain keperluan Maslow, bahwa untuk mencapai aktualisasi diri maka pemenuhan apalagi dulu kebutuhan – kebutuhan di bawahnya khususnya kebutuhan dasar (biologis) merupakan sebuah syarat mutlak. Konsepsi barat perihal diri dan sifat kepribadian selalu merujuk pada diri yang terpisah, otonom, dan atomis (terbentuk dari seperangkat sifat, kemampuan, nilai dan motif yang dapat saling dipilah) dengan mencari keunikan yang memberikan arti keterpisahan dan keraktergantungan dengna orang lain. Sebaliknya dalam budaya ketergantungan (Interdependency) merupakan landasan konsep diri yang tak terpisah dan senantiasa terkait dengan orang lain dan lingkungan luar. Pribadi dilihat sebagai suatu “keseluruhan” (holistic) dari individu dengan unit sosialnya.




Sumber: PSIKOLOGI LINTAS BUDAYA. EdisiRevisi. TriaDayakisni. SalisYuniardi. (Hal 65 – 66)
LihatTutupKomentar