Dari uraian di atas, pemahaman anak tunanetra ialah individu yang indera penglihatannya (kedua – duanya) tidak berfungsi sebagai akses penerima informasi dalam aktivitas sehari – hari seperti halnya orang awas. Anak – anak dengan gangguan pandangan ini mampu dikenali dalam keadaan berikut:
- Ketajaman pandangan kurang dan ketajaman yang dimiliki orang awas.
- Terjadi kekeruhan pada lensa mata atau terdapat cairan tertentu.
- Posisi mata susah dikendalikan oleh syarat otak.
- Terjadi kerusakan susunan syaraf otak yang berafiliasi dengan penglihatan.
Dari keadaan – kondisi di atas, kebanyakan yang digunakan selaku petokan apakah seorang anak termasuk tunanetra atua tidak yakni berdasarkan pada tingkat ketajaman penglihatan. Untuk mengetahui ketunanetraan dapat dipakai sebuah tes yang diketahui sebagai tes Snellen Card. Perlu ditegaskan bahwa anak dikatakan tunanetra jikalau ketajaman penglihatannya (Visusnya) kurang dari 6/12. Artinya, berdasarkan tes, anak hanya mampu membaca abjad pada jarak 6 meter yang oleh orang awas mampu dibaca pada jarak 21 meter.
Berdasarkan contoh tersebut, anak tunanetra mampu dikelompokkan menjadi dua macam, yaitu:
(1) Buta
Dikatakan buta kalau anak sama sekali tidak bisa mendapatkan rangsang cahaya dari luar (visusnya = 0)
(2) Low Vision
Bila anak masih mampu menerima rangsang cahaya dari luar, tetapi ketajamannya lebih dari 6/21, atau jika anak cuma bisa membaca headline pada surat kabar.
Anak tunanetra mempunyai karakteristik kognitif, sosial, emosi, motorik, dan kepribadian yang sungguh bervariasi. Hal ini sungguh tergantung pada semenjak kapan anak mengalami ketunanetraan, bagaimana tingkat ketajaman penglihatannya, berapa usianya, serta bagaimana tingkat pendidikannya.
Sumber: Psikologi Anak Luar Biasa. Dra. Hj. T. Sutjihati Somantri, Mpsi., psi. (Hal 65 – 66)