Kenyataan Konferensi Budaya

akhir globalisasi kapitalisme dan perkembangan teknologi isu, maka kemungkinan bertemunya antar orang – orang dari berbagai potongan dunia kian besar pula. Pertemuan yang tidak mesti secara real fisik melainkan mampu melalui media – media simbolik transmisioner semacam: telepon, televise atau internet. Pertemuan yang mustahil disingkirkan jikalau masih ingin exsist ketimbang mengambil pilihan lain yaitu menghindar (withdrawl) dan lalu tertinggal kemudian terpuruk pada kesudahannya. Pertemuan yang bukan cuma antar orang – perorang semata, melainkan bahwasanya juga pertemuan antar budaya.

Akibatnya yakni masalah benturan budaya kian mengemuka. Persoalan yang tidak sekedar menuntut perpecahan melainkan lebih pada pengertian dan kesadaran: akan keberagaman budaya yang membawa pada kemampuan: mengikuti keadaan, menerima perbedaan, membangun kekerabatan yang luas, menangani pertentangan interpersonal, dan mengungguli globalisasi.

Diakui hubungan antar budaya yakni suatu tantanga besar bagi manusia. Di dalamnya terdapat kepastian akan adanya perbedaan yang kadang menyakitkan terutama ketika dihadapkan pada pengambilan keputusan dan kepastian akan kemungkinan mengalami konflik serta keharusan menerima perbedaan. Contoh yang sungguh kecil saja, di dalam budaya Jawa memberikan sesuatu terhadap siapapun terutama terhadap orang yang lebih renta dengan memakai tangan kiri ialah hal yang sangat tidak sopan. Sebaliknya hal ini sendiri bukanlah suatu hal yang bernilai bagi orang – orang dari budaya barat. Selanjutnya menjadi problem saat orang Jawa pergi ke Eropa dan pada sebuah dikala si anak pedagang korang memberikan korannya dengan tangan kiri. Disinilah kemungkinan pertentangan muncul dan menuntut kesadaran akan perbedaan budaya.

Disisi lain tantangan tersebut bantu-membantu juga memperlihatkan potensi besar bagi umat insan. Kesempatan untuk menambah wacana sekaligus mengaktualisasikan potensi dan keunikan masing – masing. Kesempatan untuk menampilkan warna masing – masing dan membuat lebih indah taman dunia dengan bunga yang beraneka warna.

Namun demikian untuk dapat menemukan potensi tersebut mensyaratkan adanya keberanian membuka diri sekalipun keberanian dan kejujuran untuk melihat diri dan budaya sendiri. Ketakutan, kekolotan, dan kerap kali kesombongan diri yang kaku, merasa budaya sendiri yang benar (ethnocentrism) kadang yang malah muncul dan menghalangi penilaian diri yang jujur yang ujungnya menghalangi diri untuk maju.

Sangat mungkin menghadapi kepastian konflik tersebut, ada individu yang lebih memilih menghindari pertentangan dengan jalan menghindari pertemuan dengan individu dari latar budaya lain dan sebaliknya menentukan hanya berdiam dalam kelompoknya (In his own cultural group). Dengan cuma bergaul dan menyebarkan keberadaan diri pada kelompoknya sendiri member individu tersebut rasa aman, terhindar dari kesusahan adaptasi sebab telah adanya kesamaan identitas dan lepas dari kemungkinan konflik alasannya adalah tidak ada perbedaan kebiasaan. Namun dengan berbagi hidup hanya pada satu kalangan bahwasanya malah berarti membeda – bedakan diri dan mengakibatkan orang lain makin berbea dan hal ini pada dasarya malah menciptakan kemungkinan konflik lain kian berbeda dan hal ini pada dasarnya malah membuat kemungkinan pertentangan yang lebih besar. Selain itu individu tersebut juga akan kehilangan banyak berita serta perihal gres yang menjadi kunci untuk exist di dunia yang tak pernah berhenti berubah ini. Terlebih penting individu itu kehilangan potensi untuk berguru dan beraktualisasi diri yang lebih baik. Maka dari itu, kesadaran yang disertai keberanian untuk menerima perbedaan yaitu hal yang jauh lebih indah dan menjadi satu – satunya syarat untuk melangkah maju tanpa memaksakan diri untuk menjadi seragam.

Dengan keberanian untuk membuka diri hubungan dengan banyak manusia dari aneka macam macam budaya, berarti kita membuatkan diri, menerima banyak wacana baru, menambah lebih banyak kerabat ataupun kekerabatan, dan itu bermakna membuka pintu potensi . Membuka diri mempunyai makna mau memehami orang lain, mendapatkan budaya lain, dan siap untuk berlainan (Johnson, 1993).

Pemaparan di atas memberikan gambaran ringkas betapa kompleksna duduk perkara korelasi manuia dalam konteks antar budaya, tetapi sekaligus menawarkan suatu peluang luar biasa besar bagi pertumbuhan kemanusiaan dan peraaban. Sementara bagi akademisi, hal tersebut ialah duduk perkara gres yang sangat menarik untuk dikaji secara mendalam dalam kerangka ilmiah, khususna bagi cabang – cabang humaniora.

Psikologi selaku salah satu cabang ilmu pengetahuan yang objek studinya yaitu sikap manusia tentu harus turut mengkaji dan menyebarkan ranah penelitiannya pada masalah ini pula, dilema insan serta perilakunya dalam kekerabatan lintas budaya. Psikologi harus menyebarkan suatu pendekatan baru, pendekatan psikologi lintas budaya. Pengembangan pendekatan selaku bagian dari proses tanpa henti membangun psikologi.





Sumber: PSIKOLOGI LINTAS BUDAYA. EdisiRevisi. TriaDayakisni. SalisYuniardi (Hal 1 – 2).
LihatTutupKomentar