Gender Dan Pendidikan

Dalam aneka macam masyarakat maupun dalam kalangan tertentu dalam masyarakat mampu kita temui nilai dan hukum agama ataupun adab kebiasaan yang tidak mendukung dan bahkan melarang keikutsertaan anak wanita dalam pendidikan formal. Ada nilai yang mengemuka-kan bahwa “wanita tidak perlu perguruan tinggi-tinggi sebab akhirnya akan ke dapur juga,” ada yang mengatakan bahwa wanita mesti menempuh pendidikan yang oleh orang tuanya dianggap “sesuai dengan kodrat perempuan,” dan ada yang berpendangan bahwa seorang gadis sebaliknya menikah pada usia muda supaya tidak menjadi “perawan bau tanah.” Atas dasar nilai dan hukum demikian, ada masyarakat yang membolehkan perempuan bersekolah namun cuma hingga jenjang pendidikan tertentu saja atau dalam jenis atau jelur pendidikan tertentu saja; pun ada penduduk yang samasekali tidak membenarkan anak gadisnya untuk bersekolah. Sebagai akibat ketidaksamaan kesempatan demikian maka dalam banyak masyarakat dapat dijumpai ketimpangan dalam angka partisipasi dalam pendidikan formal. Prestasi akademik ataupun motivasi berguru sering bukan ialah penghambat partisipasi perempuan, alasannya siswi berprestasi pun sering tidak melanjutkan pendidikannya ke jenjang lebih tinggi.

Sejalan dengan perluasan pendidikan yang melanda masyarakat dunia sejak permulaan era yang kemudian, maka angka partisipasi perempuan dalma segala jenjang dan jenis pendidikan pun meningkat dengan pesat pula, baik angka absolutnya maupun proporsi wanita ketimbang pria. Meskipun demikian sampai kini kesenjangan potensi pendidikan antara laki-laki masih tetap menandai dunia pendidikan, dan pendidikan bagi semua orang masih ialah sebuah cita-cita yang masih jauh dari kenyataan di lapangan.




Sumber: Sunarto K. (2004) Pengantar sosiologi. (Rev. ed.). Jakarta: Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia. (Hal 114)
LihatTutupKomentar