- Ketika kita berpikir perihal emosi, satu dua pemikiran biasanya muncul dalam pedoman kita. Pertama mengenai pengalaman emosi yang ialah perasaan subyektif, inner feeling, dalam waktu cukup lama (state). Pemikiran kedua yang timbul biasanya mengenai bagaimana emosi diekspresikan. Dan dalam kenyataan, dua faktor emosi inilah yang diperkenalkan kepada mahasiswa psikologi dalam kajian tentang emosi. Pertama, fokus pada pengalaman (Experience) atau perasaan (feeling) dari emosi – bagaimana suatu emosi muncul. Kedua, focus pada mulut (Expression) atau tampilan (display) dari emosi bagaimana pengalaman ini ditampilkan.
Ada beberapa teori besar perihal pengalaman emosi. Pertama kali yaitu James/Lange Theory. Teori ini menyatakan bahwa emosi merupakan hasil dari suatu persepsi physiologis yang terbangkitkan otomatis (physiological autonomic arousal) dan sikap terlihat . Ketika kita melihat beruang lalu lari; interprestasi kita terhadap perilaku lari kita (nafas yang cepat, degup jantung, dan sebagainya) menciptakan pengalaman takut.
Sangat bertentangan, Cannon/Bard Theory beropini bahwa autonomic arousal terlalu lambat untuk mengkalkulasikan dan menerangkan perubahan – perubahan dalam pengalaman emosi. Pengalaman kesadaran emosi adalah hasil dari stimulasi pribadi pusat otak di korteks.
Scahter/Singer Theory lebih focus pada tugas interpretasi kognitif. Teori ini beropini bahwa pengalaman emosi bergabung pada interpretasi seseorang mengenai lingkungan dimana emosi itu dibangkitkan. Merujuk pada teori ini, emosi tidak dibedakan secara physiologis. Sebaliknya, apa yang penting dalam proses yang menciptakan pengalaman emosi adalah bagaimana seseorang menginterprestasikan peristiwa – insiden disekitar mereka. Emosi ialah label dari sikap atau kejadian internal individu yang terbangkitkan pada suasana tersebut (Masumoto, 1993).
Selanjutnya teori – teori mengenai performa emosi diantaranya yakni dari Ekman, Izzard, Tomkins, dan Plutchik. Teori dari Tomkins contohnya, menyakini bahwa emosi yakni bentuk adaptasi dari evolusi manusia, dan kesannya mulut emosi ialah merupakan bawaan biologis serta universal bagi seluruh manusai dari manapun budaya dan etnisnya. Sedangkan penelitian yang dikerjakan Izzard (1971) dan Ekman (1972) sudah memberikan enam mulut emosi pada tampang yang universal, adalah murka, jijik, takut, bahadia, sedih, dan besar hati.
Sedangkan perbedaan – perbedaan dari teori – teori ini, ada beberapa hal yang dapat ditarik sebagai kesamaan diantara mereka dalam melihat emosi. Semua melihat tugas penting dari pengalaman subyektif emosi – One’s Inner Fellings. Teori dari James/Lange, Cannon /Bard, maupun scachter/Singer, ketiganya menjajal menerangkan pengalaman subyektif ini – keadaan internal (Inner state) yang disebut emosi. Begitupun dengan teori evolusi yang mendasarkan pada peran penting dari inner feelings, ekspresi emosi yaitu penampakan luar dari pengalaman internal (inner experience) tersebut.
Semua teori klasik psikologi di atas dibangun dalam budaya Amerika. Sebuah budaya yang bila menyaksikan observasi Hofstede (lihat bagian 1) mempunyai tingkat individualitas yang paling tinggi, sehingga sangat mungkin interpretasi emosi selaku suatu pengalaman yang sifatnya subyektif ansich mampu terjadi. Menarik disimak yaitu bagaimana konsep emosi dari budaya – budaya yang cenderung berkarakter kolektif.
Sumber: PSIKOLOGI LINTAS BUDAYA. EdisiRevisi. TriaDayakisni. SalisYuniardi (Hal 49 – 50)